Sabtu, 20 April 2013

kolaborasi rasa

kepulanganmu yang sementara




Aku bosan terus-terusan terjerumus dalam rasa kehilangan. Apalagi jika kamulah penggerak di balik setiap alasan. Aku pun bosan harus memakan kata-kata manismu, hasil pelarian dari pahit yang mampir dalam hidupmu.
Jika ada dia, aku harus sukarela menyingkir. Jika tidak ada dia, aku diharuskan hadir. Pelampiasan atau sebuah permainan? Atau aku yang terlalu bodoh tak bisa melihat batas harapan dan kenyataan?
Kakiku berlari menjauhi titik-titik pencipta luka. Tapi saat aku nyaris mantap untuk pergi dari arenamu, ada saja tarikan-tarikan penggoda untuk tetap disana.
Pada langkah yang hampir terhenti, kamu ada. Pada harap yang perlahan memudar, kamu hadir. Tersisalah aku dengan sebuah keadaan, di mana arah yang semestinya kutuju masih samar. Entah harus terus berjuang atau memang tak perlu keluar sebagai pemenang. Kebahagiaanku masih terombang-ambing, aku terpaksa mengikuti ke manapun ia ditempatkan.
Pada kepulanganmu yang berulang, ada kata selamat tinggal yang siap-siap kembali kujelang. Kata selamat tinggal yang kuharap tak pernah lagi kudengar. Aku ingin kamu tetap di sini, mencipta bahagia dari dua sisi—bukan mencari bahagia kita sendiri-sendiri.
Akankah semua inginku hanya sanggup menjadi angan? Tak bisakah segalanya jadi kenyataan? Sebab rasa ini nyata, namun kedekatan kita hanya sebatas ini saja.
Setelah berperang dengan dirimu yang dirasuki perubahan, akhirnya kamupun pulang. Satu sapa pun bisa merapikan keretakan yang sempat tercipta. Satu senyum yang tulus darimu pun meluluhkan kaki yang nyaris melangkah dengan tekad serius. Angan terus berlanjut, tanpa ada kepastian yang bergelayut.
Seandainya tidak ada dia, apakah kamu akan memperjuangkan kita?Ketidakpastian semakin terlihat jelas, terutama saat percakapanmu dengannya belum berhenti. Aku takut jika nanti tumbuh cinta yang lebih besar lagi. Lalu kapan waktuku untuk menyediakan cinta? Lalu kapan seutuhnya kamu ada buatku?
Mengapa kamu pulang hanya untuk singgah, kemudian justru pergi lagi?
Mengapa kamu ke sini, namun sangat terlihat jelas bahwa dengannya kamu masih jatuh hati?
Sepasang mata ini mengharap temu, kedua tangan ini mendambamu. Sebab kebahagiaan terasa utuh dan sederhana kala kita bersama. Sebab senyuman tak sanggup terkata di saat kita berjumpa. Tidak bisa kamu di sisi untuk selamanya? Lalu tetapkan pilihanmu sehingga tak perlu ada angan yang merasa dimainkan.
Titik akhirnya, memang aku yang harus selalu rela. Datang dan pergimu hanya repitisi percuma yang entah mengapa tetap saja mampu membuat bahagia. Sederhananya, bahagiaku tertitip di kamu. Jika kamu menuju arah yang bukan aku, begitupun bahagiaku menjauh. Entah hingga kapan harus terikat padamu. Sebab jatuh hati ini telah terlanjur, tak mungkin aku bisa mundur.
Izinkan aku membuktikan bahwa hati ini pun berhak disuguhi kesempatan.Dengan ramuan rasa sederhana, aku akan membangunkanmu dari hibernasi lelahnya kepercayaan hati. Aku akan melahapmu separuh, biar kamu tahu ke mana ruang itu kau berikan dengan utuh. Aku menunggu sampai kamu mengandalkanku bukan hanya saat butuh, tapi karena akulah prioritas bahagiamu terisi penuh. Itu bukan keinginan yang muluk-muluk, kan?
Kebahagiaanku kini masih bertumpu pada ketidakpastian. Entah kapan, tapi pasti kita akan bahagia dengan pelengkap pilihan Tuhan. Tapi untuk sekarang, doaku masih menyelipkan namamu sebagai penghantar kebahagiaan.

relakanmu bersamanya

 



Wadah angan-angan semakin terisi penuh, kini ketinggian mereka seperti tak terengkuh. Di dalamnya, ada kita dengan indah cerita yang tak mungkin dijadikan nyata. Di dalamnya, ada aku yang begitu bahagia. Di dalamnya, ada kamu yang sedang jatuh cinta. Namun, mimpi memang tidak bisa bertahan terlalu lama. Karena aku perlahan menyadari bahwa cerita kita memang tak akan pernah ada. Semesta sedikit demi sedikit mengirimkan hujan kenyataan, agar aku bisa berhenti menciptakan khayalan di luar jangkauan.

Siapa sebenarnya yang berperan sebagai tokoh antagonis hingga tak jarang aku menangis? Aku sendirikah yang terlalu jahat memberi seutuhnya hati untuk rela disakiti? Atau dia yang tak mampu menjaga hatiku dengan hati-hati sampai retak berkeping seperti ini? Menjaga? Ah aku salah lagi.
Dia memang tak pernah benar-benar mau memiliki. Ekspektasiku saja yang terlalu malas menginjak bumi, ia terlalu tinggi. Cerita-cerita kita yang kukira akan sempurna, ternyata tak berakhir bahagia. Yang kutahu tentang masa depan itu kamu, tapi malah kamu yang menyuruhku untuk tetap berpijak saja pada masa lalu dan berhenti di situ.
Yang kutahu tentang perjuangan itu kita, tapi ternyata hanya aku yang berusaha. Bagaimana bisa? Bagaimana caranya membuatmu melihat apa yang kulihat sementara kita sama-sama telah buta akan tujuan yang berbeda?

Hingga akhirnya hati kecil membujuk untuk aku segera merelakan. Bukan suatu hal yang sulit, hanya mungkin butuh waktu. Butuh waktu yang tak sebentar bagi hati untuk merapikan serpihan demi serpihan. Butuh waktu yang tak sebentar bagi diri untuk menerbangkan segenggam kemungkinan-kemungkinan. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah dengan membiarkanmu pergi. Ialah aku, dengan tanpa keberanian untuk mengaku. Ialah aku, yang menyerah sebelum benar-benar memperjuangkan.

Kau tahu, aku seperti mengejar kereta yang tak pernah kutahu akan tiba. Aku seperti memperjuangkan yang belum mau diperjuangkan karena buatnya aku pun belum pantas diistimewakan. Mungkin lain kali bukan objeknya yang harus kuperjuangkan, tapi kesetaraan perasaan.
Awal yang menggebu, ternyata meninggalkan sisa-sisa rasa yang dinilai tak bermakna seperti abu. Tapi aku ingin menerbangkannya, mungkin agar bisa sedikit saja kau merasakannya. Meski aku tahu, untuk merasa saja takkan bisa mengubah apa-apa. Pun kepemilikan hatimu yang telah dipegang oleh dia. Aku berserah pada Tuhan Sang penentu arah. Aku melambaikan tangan pada kamu yang bersiap masuk dalam kolom masa lalu.

Nyatanya tidak perlu ada perjuangan. Sebab hatimu telah ada yang memenangkan. Sebagai pihak yang mengalah dan sudah mengaku kalah, kemudian aku mengubah arah. Meski hati sepenuhnya masih ingin menujumu, namun kenyataan menyadarkan bahwa rasa kita tak bisa saling temu.
Kukantongi bahagiamu dengannya, supaya aku akan tetap ingat bahwa aku boleh berada pada kondisi yang sama. Karena seharusnya tidak hanya hari-harimu yang indahnya tanpa jeda, tapi milikku juga.

tertunda

 



Ada yang seharusnya punah sebelum hati menjadi patah. Mungkin namanya asa. Ada yang seharusnya diberikan, tapi masih disimpan Tuhan. Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya dihentikan, sebelum luka jadi lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan. Barangkali hati terlalu cepat jatuh pada waktu yang tak tepat. Bukan objeknya yang salah, tapi mungkin kali ini aku harus mengalah. Kesempatan yang tadinya terlihat begitu jelas, kini hilang semudah melayangnya kertas.

Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan. Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani. Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan sepenuh hati.
Entah kesempatan yang memang belum ada, atau aku mungkin sudah pernah melewatkannya.

Maaf atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.
Jika benar putaran kesempatan pernah kulewatkan, mungkin itulah definisi dari sebuah kesalahan yang mendewasakan. Aku berhenti mengetuk. Bukan karena sudah hati remuk, tapi tak ingin kulihat penghunimu mengamuk.

Barangkali akan ada kesempatan, namun tak tahu harus menunggu sampai berapa lama. Barangkali akan ada sepenggal cerita yang sedikit diubah, namun kepastiannya masih entah. Barangkali aku memang akan hidup di antara rangkaian barangkali, hanya karena belum siap untuk menghadapi. Bila nanti kesempatan memang ada, kamu tahu, akan kugunakan itu tanpa sia-sia. Sekarang, mungkin sudah cukup dengan melihatmu teramat bahagia, meski harus dengannya.

Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?
Dunia barumu yang sama sekali tak menyertakan aku. Dunia baru yang terlihat ramai saat namanya tak usai kau sebut-sebut.

Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu lebih bagi semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan.Walau entah kejutannya akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan.
Mari tutup segala mungkin atau tidaknya. Sebab masih ada beberapa hal sederhana yang perlu disyukuri keberadaannya; kedekatan kita, misalnya.

Tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan diri, bagi yang nanti berpatenkan nama sebagai penghuni hati. Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti cinta mungkin aku belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa, hanya sembuhkan hati yang sedang kucoba-coba. Selamat istirahat pelukis merah merona pada pipi, selamat bekerja dua kali lipat dari biasanya plester hati.

menuju pertemuan




Kedua kaki sudah siap untuk melangkah pergi. Kubungkus ekspektasi dengan sangat rapi, hingga mereka tak akan bisa terbang yang terlalu tinggi. Degup resah yang akhir-akhir ini sempat tak terdengar lagi, perlahan tampak tanpa kendali. Entah apa yang akan semesta suguhkan; sebuah pertemuan atau hanya semburat kekecewaan.
Sabar, hati. Aku berujar pada pantulan cermin sendiri—seolah dengan mengucapnya mampu redakan dentuman debar.
Ada seorang anak kecil di dalam aku yang sudah tak sabar—seolah bertemu denganmu sama manisnya seperti gula-gula ukuran besar. Ada seorang dewasa di dalam aku yang tak henti mengingatkan—hati-hati, terkadang keinginan hanya mampu terwujud dalam khayalan.
Berharap kamu di seberang sana resah akibat rasa yang sama. Berharap kamu di seberang sana bertanya-tanya perihal ketidakpastian yang sama. Apakah kita bertemu memang untuk bersatu? Ataukah kita bertemu hanya agar luka mendapat jalannya yang baru?
Sepenuh hati aku mengumpulkan buruknya kemungkinan agar tak terbiasa dengan khayalan tanpa tanda-tanda kenyataan. Pada sepetak lantai di mana kita pernah menjejak, aku berharap di titik yang sama akan mendengar derap langkahmu semakin mendekat. Di selembar angan-angan kosong aku mengajari hati bagaimana caranya agar tidak perlu berdetak terlalu cepat. Tapi, tampaknya akan percuma. Sebab kamu saat ini sudah berada di depan mata. Tanpa mulut yang terbuka, lambaian tangan di udara, kita bertegur sapa secara maya. Tak apa semesta, aku sudah cukup bahagia.
Memang lebih baik berharap tak terlalu tinggi, agar ketika semesta memberi yang berlebih, yang muncul hanya bahagia di hati. Maka ketika mata menatap mata, ada yang jatuh tak terduga—hati kita. Rasa yang semula kukira saling menolak, kini ternyata saling memihak. Tak sia-sia setiap lafal doa. Sepertinya benar, pada pintu di dadamu, mereka melabuhkan asa.
Selamat bertemu, cinta..

telah berhenti




Selesai.
Satu kata yang kukira adalah akhir dari segala kita. Satu kata yang nyatanya memberi bukti bahwa masih ada yang mustahil usai; namanya kenangan.
Kenangan ialah sisa-sisa ingatan yang mengakar hingga dada, masih menganggap kamu di sana. Kenangan ialah samar-samar harum tubuhmu diembus udara, masih mengira kamu tak ke mana-mana. Kenangan ialah yang menyiksa aku; yang meminta aku terus menengok ke arah yang semula ada kamu. Kenangan begitu nakal. Ia mematenkan kaki-kakinya untuk berdiam di ingatanku kekal.
Mungkin ini sebuah hukuman dari kenangan. Karena dulu, air mata yang terjatuh dari pipimu selalu disebabkan oleh aku. Karena dulu, tawamu yang menyuarakan nada-nada bahagia sempat tertahan oleh keegoisanku. Karena dulu, kesalahan terfatalku adalah membiarkanmu berlalu. Hilang di makan waktu mencintai pria baru. Itu salahku, dan mungkin karma jadi makananku.
Sepayah itulah aku tak bisa menjaga ‘kita’. Sekuat itu pun juga kamu telah berusaha. Sampai hentakkan semesta menyadarkan bahwa kita tak bisa lagi seperti semula.
Terpejam mataku meninabobokan kesedihan, sementara menghindarkan aku dari kesesakkan. Namun nyatanya kedua mata yang terbuka di esok hari, menyadarkan bahwa kamu tidak lagi di sisi. Tinggi hati, kuhalangi air mata yang ingin mengalir melewati pipi. Meski secara sembunyi-sembunyi, baru aku berani mengakui bahwa aku masih mengharapkan kita untuk kembali.
Salahku, mengapa dulu tidak piawai dalam menggenggam. Salahku, mengapa dulu memilih untuk diam. Salahku, mengapa dulu seakan melepasmu pergi.
Sesal memang sesak. Yang tersisa hanya letup-letup kecewa namun tak mungkin membawaku ke pelukanmu yang semula.
Sebelum aku benar-benar selesai menghitung langkah mundur dan mulai berjalan ke hadapan, kuingin lihat senyummu untuk terakhir kali. Senyum yang tercipta karena aku, bukan karena lelaki yang kini di sampingmu. Bolehkah?
Semoga keputusanku untuk memutar arah dan melanjutkan langkah tak akan berubah. Meski di masa depan aku tak tahu akan terjadi apa, kuharap kamu sudah kurelakan sepenuhnya. Kuharap kelak aku hanya akan mengingatmu sebagai yang indah-indah saja.
Kamu masih tetap cantik. Kenangan tentangmu pun akan kujaga pada lemari memori, tertata antik. Kadang memang masih terasa sakit saat kedua telinga tak sengaja diperijinkan mendengar cerita tentangmu yang kini telah berdua. Tapi kuharap, sesal itu tak seperti rel yang mengiringi kemanapun roda-rodaku pergi. Aku ingin memindahkan perasaan ini pelan-pelan. Ke perempuan yang tepat tentunya.
Melalui kamu, aku tahu cara menjaga hati. Melalu kamu aku pun tahu bagaimana rasanya sebuah ‘penyesalan’. Jika telah datang nanti perempuan istimewaku, takkan kulakukan pengulangan perlakuan.
Kini langkah kaki dan logika sepemikiran ingin melaju ke depan. Sementara kamu, tetap indahlah dalam kenangan. Sebagai sesuatu yang selama ini sudah banyak memberikan pelajaran. Sedangkan aku, mencoba memulai kembali dari sepanjang perjalanan yang sudah terlewati.
Di penghujung jalan nanti, semoga tidak akan ada kesalahan kedua. Semoga tidak akan kuakhiri lagi segala usaha dan air mata dengan begitu sia-sia. Semoga tidak akan ada lagi senyuman manis yang menjadi korban. Sebab satu penyesalan lamban untuk lenyap, sedangkan seribu pengalaman tak akan juga cukup.