Senin, 28 Januari 2013

Kampanye Dini Calon Presiden

Kampanye Dini Calon Presiden

Luky Djani ? Wakil Koordinator ICW Saat perayaan imlek kemarin, kita berulangkali menyaksikan para calon presiden menghiasi layar kaca, berlomba-lomba memberi ucapan selamat Imlek. Dilihat dari penampilan mereka, kita pun mafhum betapa bersemangatnya para calon presiden itu berpromosi, mencuri perhatian publik. Mari kita simak iklan tersebut satu persatu. Luky Djani ? Wakil Koordinator ICW Saat perayaan imlek kemarin, kita berulangkali menyaksikan para calon presiden menghiasi layar kaca, berlomba-lomba memberi ucapan selamat Imlek. Dilihat dari penampilan mereka, kita pun mafhum betapa bersemangatnya para calon presiden itu berpromosi, mencuri perhatian publik. Mari kita simak iklan tersebut satu persatu. Calon A mendesain iklan ?kampanye?-nya dengan sederhana, hanya menampilkan gambar sekelompok orang berkerumun di bawah pohon besar. Ia mengucapkan : ?Semoga keberuntungan menyertai kita semua (mengatupkan kedua tangannya), Bersatu untuk maju? (mengacungkan kepalan tangannya). Lain lagi dengan calon B. Latar belakangnya, kerumunan orang, dan anak-anak kecil yang menandak-nandak senang, dibawah rintik-rintik hujan. Di tengah kegembiraan itu, muncul tulisan ?semoga hujan sehari membawa rejeki di tahun ini?. Lalu, muncullah B, berdiri dengan tenang dan tanpa banyak tutur kata mengucapkan ?Selamat tahun baru Imlek, Gong Xi Fa Cai?. Ada lagi, calon C yang tampil dengan narasi yang sangat panjang. Intinya, ia menganjurkan untuk menghargai perbedaan dan menjadikannya sebagai modal untuk berkembang. Tentunya disertai ucapan selamat Imlek. Yang menarik, iklan ucapan selamat itu mengatasnamakan pribadi. Tak ada embel-embel kedudukannya sebagai pejabat tinggi negara ataupun ketua umum partai. Lantas, apakah iklan layanan dari para calon presiden ini bisa kita kategorikan sebagai kampanye dini? Kita tahu, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di berbagai daerah sangat tegas menindak peserta pemilu. Baik partai politik, maupun calon Dewan Perwakilan Daerah, yang berkampanye sebelum waktunya. Di Banjarmasin, misalnya. Tujuh belas pemimpin partai dijadikan tersangka karena berkampanye di luar jadwal. Di Serang, Panwaslu mencurigai adanya kampanye terselubung partai dalam bentuk pengajian (Kompas, 13 Januari 2004). Agar terpilih, sudah sewajarnya jika kandidat berpromosi untuk mengkomunikasikan visi dan programnya kepada pemilih. Beragam strategi, dan medium untuk berkampanye digunakan, demi menarik perhatian pemilih. Tapi, politikus umumnya terjebak dalam pandangan bahwa yang lebih populer, pasti akan menang dalam pemilu. Akibatnya, kampanye dilakukan dengan jor-joran. Poster, bendera dan spanduk terpampang di mana-mana, blocking time di media elektronik dan cetak sesering mungkin, bahkan kalau perlu mengerahkan massa yang membludak. Padahal, kepopuleran bukan jaminan untuk menang. Faktor penentu adalah platform dan isu kebijakan dari kandidat, kinerjanya-terutama yang memegang jabatan publik (incumbent), track records serta jaringan dan infrastruktur dari mesin politik kandidat. Faktor-faktor inilah yang membentuk preferensi pemilih terhadap kandidat. Dalam political marketing, terdapat beberapa tahapan kampanye (Hrebenar, dkk. 1999). Tahap pertama adalah keberadaan atau eksistensi partai atau kandidat di publik. Setidaknya, pemilih harus tahu tentang partai atau kandidat itu. Kedua, kedekatan atau image development. Pemilih harus paham dan dapat membedakan platform dan program masing-masing partai politik atau kandidat. Tahap ketiga adalah kedekatan. Pemilih harus merasa bahwa partai ataupun kandidat memiliki kesamaan ideologi dan atau akan mengakomodir aspirasi mereka. Inilah yang akan ?menggerakkan? pemilih untuk menjatuhkan pilihannya. Dalam pasal 1 ayat (11) UU Nomor 22 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden disebutkan kampanye adalah kegiatan untuk menyakinkan para pemilih dengan menawarkan visi, misi dan program pasangan presiden-wakil presiden. Sedangkan definisi Iklan Kampanye (Keputusan KPU no 701 tahun 2003 pasal 1 ayat (8)) adalah penyiaran pesan-pesan melalui media cetak dan elektronik secara berulang-ulang berbentuk tulisan, gambar, animasi, suara, peragaan, sandiwara, debat dan bentuk lainnya yang berisi ajakan, imbauan untuk memberikan dukungan kepada peserta pemilihan umum. Iklan layanan masyarakat yang ditayangkan pada hari-hari raya (Lebaran, Natal, Tahun Baru dan Imlek) sebenarnya bisa dikategorikan sebagai kampanye untuk mempromosikan keberadaan calon presiden kepada publik. Pasalnya, iklan itu mengatasnamakan pribadi calon, dan ditayangkan berulang-ulang. Biasanya, sebagai pejabat tinggi Negara, ucapan selamat ditayangkan dalam bentuk pidato resmi dan mencantumkan jabatannya. Selain itu, iklan layanan dibuat hanya akir-akhir ini, menjelang pemilu, dan tidak ada pada tahun-tahun sebelumnya. Dari Mana Dana Kampanyenya? Pertanyaan kedua yang tak kalah pentingnya perihal pendanaan dari iklan adalah darimana dananya dan bagaimana akuntabilitasnya kepada otoritas pemilu? Secara sederhana, kita dapat mengkalkulasi berapa dana yang dikeluarkan untuk iklan tersebut. Jika biaya tayang (run on screen) untuk durasi 30 detik, yang membutuhkan rata-rata Rp 1,5 juta, maka total biaya tayangan selama 20 kali per hari adalah Rp 30 juta. Jika ditayangkan di lima stasiun televisi maka biayanya menjadi Rp 150 juta. Dan jika iklan ucapan selamat itu ditayangkan pada hari raya Idul Fitri, Natal, Tahun Baru dan Imlek, maka biayanya bisa mencapai Rp 600 juta. Walau angka ini adalah nilai estimasi minimal, nominalnya cukup besar, lebih dari setengah milyar. Kampanye memerlukan sumber daya yang tidak sedikit. Faktor-faktor penting dalam kampanye pemilu, yaitu kandidat, platform dan program kerja, organisasi kampanye dan dana. Dana merupakan faktor yang sangat berpengaruh, sebab tanpa dana, ketiga faktor lainnya menjadi tak berguna. ?Money is not sufficient, but it is necessary for successful campaign. Money is necessary because campaigns do have impact on election results and campaign cannot be run without it? (Jacobson, 1980) Pendanaan politik merupakan fondasi bagi demokrasi (Nassmacher, 2001,). Dana adalah sarana utama untuk memenangkan atau mempertahankan kekuasaan politik. Karena itu, aturan mengenai pemilihan presiden sudah mengatur mengenai sumber dana, batasan sumbangan serta kewajiban memiliki rekening khusus dana kampanye (pasal 43). Ayat 5 pasal itu menyatakan, sumbangan yang lebih dari Rp 5 juta, baik dalam bentuk uang atau bukan, wajib dilaporkan ke KPU mengenai jumlah dan identitas pemberi sumbangan. Karena itu, dana untuk iklan seharusnya juga dilaporkan jumlah dan asal muasalnya. Ketentuan ini bertujuan mencegah donasi menjadi investasi politik, yang dapat mempengaruhi kebijakan publik. Ketidaksetaraan Politik Bagaimanapun maraknya praktek curi start kampanye belakangan ini jelas akan mencederai prinsip kesetaraan dalam kampanye yang kompetitif (political equality). Karena kampanye dini tentu akan berpengaruh terhadap pemilih. Selain itu, akuntabilitas dana kampanye pun harus ditegakkan. Agar pengaruh berlebihan dari sumbangan yang dapat mempengaruhi kebijakan publik (abusive influence) bisa dicegah. Peserta pemilu wajib mencatat asal dan jumlah sumbangan serta tidak akan menerima sumbangan yang melebihi batas donasi, atau datang dari penyumbang yang tidak jelas identitasnya maupun institusi publik (pemerintahan, BUMN, dan sebagainya). Karena itu, baik KPU maupun Panwaslu, harus segera mengingatkan peserta pemilu agar mentaati aturan tentang kampanye dan dana kampanye. Penting bagi KPU dan Panwaslu untuk mengikat komitmen dari media massa untuk tidak menayangkan iklan kampanye sebelum waktunya. Jika tidak, maka curi start kampanye membuat kompetisi pemilu menjadi tidak berimbang. Walau kampanye jor-joran bukan satu-satunya jaminan, tapi kandidat yang sudah lebih dulu berkampanye, akan lebih unggul. Pasalnya, kandidat itu akan lebih dikenal pemilih sejak dini. Akibatnya, pemilu bisa jadi hanya menjadi formalitas, karena pemenangnya sudah dapat ditebak.

PERMASALAHAN DAN SOLUSI PEMILUKADA

I.    PENDAHULUAN

     Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi  dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD.  Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan  pemerintahan di  daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .

     Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi  yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah.

     Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi.  Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .

     Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.

     Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras  tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.)  maupun financial.  Hal ini  kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.

     Masalah pemenangan Pilkada  mengandung latar belakang multidimensional.  Ada yang bermotif  harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga  kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat).  Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan  dalam proses pemerintahan (the process of government) .  Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise”  seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik  UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.


II.    PERMASALAHAN  PILKADA DAN ISU-ISU PILKADA

1.    Daftar Pemilih tidak akurat;

a.    Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan
b.    Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat
c.    Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS
d.    Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal
e.    Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara
f.    Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.
2.    Proses pencalonan yang bermasalah

a.    Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.
b.    Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama.
c.    KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d.    Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.
e.    Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f.    Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka.
3.  Pemasalahan pada Masa kampanye :

a.    Pelanggaran ketentuan masa cuti
b.    Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik
c.    Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA
d.    Money politics
e.    Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi
f.    Kampanye negative
g.    Pelanggaran etika dalam kampanye
h.    Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan

4.     Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:


a.    Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara.
b.    Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
c.    Belum  lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK,  KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
d.    Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.
e.    Keterbatasan    anggota    Panwas    mengontrol    hasil    penghitungan    dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

5.    Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral


a.    Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon.
b.    Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.
c.    Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon.
d.    Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di atasnya.
e.    Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon
f.    Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah.    
6.     Putusan MA dan MK yang menimbulkan kotroversi

7.     Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008.


8.      Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.


9.     Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada


10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).


11.    Sistem pemilihan gubernur.


12.    Sistem pemilihan wakil kepala daerah.


III.     PEMBAHASAN DAN ANALISIS


1.    Daftar Pemilih tidak akurat.


     Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh  para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.


     Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.

2.    Proses pencalonan yang bermasalah

     Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan  keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.


     Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.


     Pasal   59  ayat  (5)   huruf a   Undang-Undang   Nomor  32  Tahun   2004 menyatakan  bahwa  partai politik atau gabungan partai  politik    pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib   menyerahkan   surat pencalonan   yang ditandatangani oleh   pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan  oleh  DPP  partai  politik.   Dalam  permasalahan  ini  karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala  Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan   bahwa penetapan dan pengumuman   pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk   menggugurkan   pasangan   calon   tertentu   tanpa   dapat   melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.


     Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.


3.    Pemasalahan pada Masa kampanye.

     Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.


     Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.


     Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.


4.    Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

     Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.   


     Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.


5.    Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral

a.    KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten.   Padahal   pengambil-alihan     baru   dapat  dilakukan  jika   KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan Pilkada.
b.    KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota
Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara. 
c.    Panwaslu.
Keberpihakan   Panwaslu   kepada  salah  satu   pasangan   calon  dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah.

     Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.

     Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.


6.    Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.


     Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

     Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.


     Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada.


     Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.


7.    Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan Pilkada.

a.     Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004:
Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b.    Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa jabatan adalah apabila seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya selama 2,5 tahun atau lebih.
Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.

8.    Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.

a.    Penyesuaian tata cara pemungutan suara.
Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta  Perhllu  Presiden dan Wakil  Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian   suara   ini   telah   mulai   memasyarakat,   sehingga   agar  tidak membingungkan masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara pemberian suara perlu diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
b.    Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.

9.    Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada


     Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah hanya cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.


10.    Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).

     Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya  Pilkada juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi penggabungan Pilkada.

Optimasi Penggabungan.

1)    Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya   1 X , yaitu dimulai Tahun 2015.


a)    Jumlah care taker kepala daerah yang akan  ada 278 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b)    Aparat  keamanan   harus  menggelar  pasukan   secara  serentak  di seluruh Indonesia.
c)    Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d)    Dari segi biaya akan dapat dihemat.

2)    Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai tahun 2013 dan tahun 2015.


a)    Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi sedikit kurang optimal.
b)    Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di + setengah seluruh Indonesia.
c)    Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d)    Dari segi biaya akan dapat dihemat.

3)    Pilkada   dilaksanakan   secara   bersamaan   di   masing-masing   wilayah provinsi 1X sesuai jadwalnya.


a)    Jumlah care taker kepala daerah yang akan  ada 225 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b)    Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda.
c)    Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d)    Dari segi biaya akan dapat dihemat.

4)    Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan.


a)    Jumlah care taker kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga pemerintah daerah masih berjalan normal.
b)    Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres.
c)    Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d)    Dari segi biaya akan dapat dihemat.

11.    Sistem pemilihan gubernur.

     Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:


a.    Tinjauan yuridis

Berdasar:


1)    Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2)    Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3)    Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",


     Bahwa tidak ada  perintah  pemilihan  gubernur dipilih  secara  langsung, sehingga  pemilihan gubernur dilakukan  melalui system  perwakilan tidak
bertentangan dengan konstitusi.


b.    Tinjauan filosofis

1)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2)    Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3)    Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4)    Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5)    Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6)    Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.

c.    Tinjauan Politis

1)    Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2)    Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.

d.    Tinjauan Sosiologis

1)    Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2)     Menumbuhkan   kesadaran   akan   kebutuhan   pemimpin   yang   mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.

e.    Tinjauan efektifitas dan efisiensi

     Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung.

     Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.

12.    Sistem pemilihan wakil kepala daerah.

     UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan.

     Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.


     Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan system pilkada  pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa  sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas)  dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.


IV.    KESIMPULAN


     Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan Pilkada ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1.    Peningkatan akurasi daftar pemilih.

     Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah pelibatan RT/RW secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk maupun perbaikan data pemilih.

2.    Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.

     Dari segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup memadai. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.


3.    Masa kampanye yang lebih memadai.

     Dari segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum member! waktu yang cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap para calon. Untuk itu perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.


4.    Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.

     Dari segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah terjadi manipulasi pada pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan suara yang tidak sama dengan hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh masyaakat, karena tidak semua peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS dan keterbatasan jangkauan Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS. Selain itu pengumuman hasil penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS hanya selama TPS ada (tidak lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta Pilkada kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS. Untuk itu perlu pengaturan yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para saksi calon untuk mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.


5.    Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral

     Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi karena kriteria dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu baru belum menjangkau sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi, kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas, dan tidak tidak mudah mengeluarkan statement. Untuk itu dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu perlu penambahan kriteria sikap mental dimaksud dalam system seleksi anggota penyelenggara pemilu.


6.    Minimalisasi Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.

     Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 telah membatasi kewenangan pengadilan/mahkamah dalam sengketa Pilkada hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut dan menimbulkan kontroversi. Untuk itu dalam revisi Undang-Undang yang terkait  dengan   Pilkada   masalah   ini   masalah   kontroversi   putusan   Mahkamah Konstitusi perlu dicarikan jalan keluarnya.


7.    Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan pelaksanaan Pilkada.

a.    Putusan MK Nomor 072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 sebagai berikut:

1) Pasal 57 ayat (1) sepanjang anaka kalimat "...yang bertanggung jawab kepada DPRD",
2) Pasal 66 ayat (3) huruf e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD",
3) Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4) Pasal 82 ayat (2) Sepanjang anak kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan MK Nomor No 22/PUU-VII/2009 membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

     Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah substansi yang telah dibatalkan tersebut untuk tidak diatur lagi.

8.    Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

     Berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dalam pemberian suara sudah tidak lagi mencoblos tapi menconteng serta penggunaan KTP juga sebagai kartu pemilu, maka untuk tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat perlu dilakukan penyerasian. Untuk itu ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan tata cara pemberian suara dan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.


9.    Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada.


     Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus aktif.


10.    Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).

     Optimasi penggabungan Pilkada di Indonesia yang paling optimal berdasar kriteria kontinuitas jalannya pemerintahan daerah, kesiapan aparat keamanan, dampak isu yang akan muncul terhadap dan efisiensi biaya didapat alternatif yang memiliki skor terbaik, yaitu : "Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan".


11.    Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.

     Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung sudah dapat dipertahankan lagi dan akan lebih efektif jika pemilihannya dilakukan melalui sistem perwakilan.


12.    Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.

     Pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan dengan kepala daerah, pada banyak daerah telah menimbulkan hubungan yang tidak sinergi dalam menjalankan tugas dan fungsi. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik menjadikan kedua belah saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.


V.    PENUTUP

     Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka menyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari  5 tahun. Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam rangka penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.

     Dinamika politik selama lebih dari sepuluh tahun telah memberikan peran politik local cukup signifikan. Namun penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau institusi perlu memperhatikan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.


     Sementara itu susunan pemerintahan daerah akan menjadi dasar bagi pembangunan interaksi di antara mereka. Demikian pula, susunan pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari peranan yang dimainkan oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah diharapkan menciptakan sistem politik yang demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya akan dapat memberikan kontribusi bagi terwujudnya sistem politik demokratis di tingkat nasional.


     Yang terlebih penting lagi adalah konsolidasi demokrasi yang  harus merupakan konsensus untuk menyempurnakan system demokrasi, khususnya pemahaman “legal system” di atas, baik yang berkaitan dengan substansi, struktur dan budaya hukum, yang penyempurnaannya harus merupakan usaha yang tidak pernah henti  (the endless effort). Demokrasi sebagai system politik harus didukung oleh system hukum yang mantap, yang effektivikasinya akan banyak tergantung pada kualtias perundang-undangannya;  kelengkapan sarana dan prasarananya; kualitas sumberdaya manusianya baik mental maupun intelektual; dan partisipasi masyarakat secara luas
.

fenomena serangan fajar


Fenomena Serangan Fajar : Money Politic

Menurut UU pemilu No.3 tahun 1999, UU pemilu No.12 tahun 2003 dan UU pemilu No. 10 tahun 2008, tentang pemilihan umum, pada umumnya penjelasan kata-perkatanya sama: merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan sistim pemerintahan Negara yang berdaulat.
Pemerintah Negara yang di bentuk melalui pemilihan umum itu adalah berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat, dan diabadikan untuk kesejatraan rakyat. Ali moertopo mengungkapkan pendapatnya tentang pemilu sebagai sarana demokrasi penting. Pemilu merupakan hal nyata keikutsertaan rakyat dalam kehidupan kenegaraan hal tersebut karna rakyat punya hak memilih dengan bebas wakil-wakilnya.
Pesta demokrasi rakyat yang diselenggarakan lima tahun sekali, pelaksanaan ajang tahunan ini, lebih jauh lagi akan menjadi piagam hitam Award tersendiri bagi pelaku-pelaku oportunis yang suka bergentayangan, sesuai dengan judul catatan “FENOMENA SERANGAN FAJAR: MONEY POLITIC”. Sarana demokrasi berubah menyerupai setan-setan kedurhakaan dalam bentuk produk serangan fajar dari tahun ke tahun pasti tak dapat terhindarkan.
Bukan peluru yang dimuntahkan dari mulut senjata laras panjang sebagai tanda mulainya peperangan namun, kejadiannya ialah: serentetatan tembakan sembilan bahan pokok dan uang dan iming-iming dan kepalsuan janji-janji datang dengan dadakan silih berganti di waktu subuh. Saya, tidak menjastifikasi tapi, bisa dikatakan politik dagang sapi elite partai selalu dinakodai oleh sub politik terpelajar partai politik. Padahal, ada formula instant legal yang bisa di pakai tanpa mengunakan pelaksanaan yang berdampak pada pencitraan keburukan seberapa tinggi atau rendah, tingkat sosial si-calon bersangkutan, semakin memberi semakin dikenal, semakin besar pula kemungkinan menang pertarungan.
Terbukti mereka menggunakan segala cara-cara marketing politik yang sangat professional agar suara rakyat dapat diperjual belikan sebagai lahan komoditi bisnis politik sesaat yang sangat mengiurkan untuk merebut kursi-kursi pertarungan eksekutip maupun legislatife.
Berdasarkan pasal 22E ayat 1 UU dasar Negara republik Indonesia tahun1945, pemilu dilaksanakan yaitu, langsung, bebas, umun, rahasia, jujur dan adil. Sangat penting mengedepankan aspek demokrasi yang didasarkan peraturan berlaku dalam pengambilan keputusan atau pembuat kebijakan agar kebijakan yang dibuat mendapat dukungan dari pelaksanaan kebijakan dibuat.
Fenomena yang sesuai dengan sepenggal penjelasan diatas merupakan hal yang masi sangat sulit diberantas. Teori dan ketetepan aturan undang-undang hanya pelengkap sistim Ke-Negaraan, politik Indonesia. Maka itu, praktek serupa sangat tidak baik bagi proses pendidikan politik dan demokrasi rakyat. Harus bisa sedapat mungkin diminimalisir, kalau memang tak bisa diratakan secara keseluruhan.
Dipelajari secara seksama kesempatan ini, ada pertanyaan sampe mana tingkat kesejadraan rakyat ikut serta dalam kehidupan bernegara? Belum bisa terjawap, karna relatife rendahnya tingkat kesejatraan masyarakat Indonesia, buruknya infrakstruktur pendukung yang membuat pemilih mudah terprofokasi kampanye kambing hitam. Dengan bertambahnya masalah yang sengaja terciptakan tanpa ujung penyelesaian. Maka rekam jejak, kejujuran, intregritas sang tokoh sebagai pertimbangan utama menjatuhkan pilihan bagi pemilih tidak lagi digunakan untuk bahan rasionalitas memilih apabilah nanti menghadapi bilik suara. Karna sebagian masyarakat sudah terkontaminasi ke alur pemikiran se-bungkus nasi bungkus yang dimana memandang pemilu ajang isi perut masal.
Oleh sebab itu, ada beberapa pengangamat politik menyatakan bahwa partai politik harus bertanggung jawap, ungkapan tangung jawap: turut merghadirkan peran partai politik sangat dasyat atas kejadian-kejadian money politik yang terus terjadi, parpol di nilai keliru melakukan sosialisasi politik sistim social dan sistim politik bukan sosialisasi dilalukan parpol tapi pencitraan menggunakan uang. Dampaknya sistim politik tersebut mengalami penyesuaian perubahan yang dikehendaki actor intelektual elit politik..

Demokrasi yang Prematur


Pemilu Kada; Demokrasi yang Prematur


 
Sampai detik ini lantunan lagu berjudul “Demokrasi” masih menjadi irama indah di republik kepulauan bernama Indonesia. Demokrasi yang telah mengakar selalu menjadi slogan yang digunakan pihak ekskutif maupun legislatif dalam ‘menjual’ negeri ini untuk dikenal dalam pergaulan bangsa di dunia. Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 1955 disebut-sebut sebagai penjelmaan demokrasi yang pertama kali semenjak bangsa ini lepas dari penjajahan fisik dunia barat, saat itu pemilu dilaksanakan dalam dua tahap, untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante. Pada era selanjutnya era Soeharto/era orde baru pemilu dilaksanakan dengan sistem partai yang diadakan tiap lima tahun sekali.
Setelah di undangkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU No. 32/2004), bangsa ini melakukan kembali ritual demokrasi yang belum pernah dipraktekkan sebelumnya, yakni pemilihan umum kepala daerah (Pemilu kada) secara langsung, prosesi ritual demokrasi yang seharusnya suci ini pertama kali dilaksanakan pada 1 Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kertanegara. Hal ini merupakan bukti terpenuhinya (sebagian) tuntutan rakyat untuk memilih sendiri pemimpin daerahnya.
Perombakan-perombakan yang dilakukan dalam prosesi demokrasi ini diharapkan menjadi langkah yang tepat untuk memilih orang-orang yang duduk di pemerintahan sesuai dengan keinginan hati nurani rakyat sendiri, bukan karena hasil politik transaksional (politik dagang sapi) para elit politik di daerah. Namun, ritual demokrasi yang selama ini dianggap sebagai ritual demokrasi paling revolusioner masih menyisakan banyak persoalan. Misalnya, kedangkalan pemahaman rakyat di grass roots (akar rumput) akan demokrasi yang diejawantahkan dalam pemilu kada.
Sampai saat ini masih terlalu banyak manusia-manusia yang hidup di republik ini memnganggap bahwa demokrasi berarti sebuah kemenangan, jika mereka (calon mereka) kalah itu berarti belum ada demokrasi. Seperti apa yang bisa kita lihat kekisruhan yang terjadi pada pemilu kada Kotawaringin Barat yang masih menyisakan masalah. Ini membuktikan jika substansi pemilu kada langsung tampaknya belum menjadi mekanisme terciptanya sistem politik yang benar-benar demokratis.
Meskipun prosesi pemilu kada ini hanya dilaksanakan di tingkat daerah, namum implikasinya dapat dirasakan hingga tingkat nasional. Ritual besar ini tentu akan melibatkan banyak orang dengan berbagai kepentingan yang berbeda dan cara untuk mengekspresikan jiwanya yang berbeda pula. Jika terdapat api yang menyulut kekacauan di tengah massa yang sedang tegang, maka akan segera menjadi kobaran api yang tidak terkendali. Tentunya hal ini bila dibiarkan akan menjadi permasalahan tingkat nasional, bukan lagi monopoli tanggung jawab pemerintah daerah semata.
Di dalam UU No. 32/2004, hal penyelenggara pemilu kada menjadi bagian dari kontroversi. Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dipandang mudah dikemudikan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPRD). Selain itu, persyaratan partai politik mengajukan calon (partai dengan 15% kursi di DPRD) juga dipandang problematik. Judicial review yang diajukan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) diluluskan oleh Mahkamah Konstitutsi. Paska judicial review, Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) mengadakan konsolidasi dengan KPUD terutama dalam mengisi lubang-lubang yang ada di UU No. 32/2004. Salah satunya adalah jika terjadi keperluan untuk menunda karena bencana atau hal lain. Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) yang disempurnakan digunakan untuk mengisi kekosongan tersebut.
Kemandirian KPUD ini juga tidak membawa kepastian maupun jaminan akan lancarnya proses pemilu kada. beberapa permasalahan yang sering muncul diantaranya; waktu pendaftaran calon diganggu oleh masalah konflik internal partai, fanatisme pendukung partai politik yang kandidatnya tidak lulus verifikasi ataupun tidak memenangkan pemilu kada, tidak profesionalnya KPUD yang berdampak pada proses pemilu kada setelah calon-calon tersebut terpilih. Selain itu supervisi KPU tidak bisa optimal mengingat masalah internal KPU di pusat dengan beberapa terpaan isu miring terkait masalah korupsi dan masalah lain.
Tentunya tidaklah sepenuhnya salah jika kemudian muncul berbagai pendapat yang mengatakan bahwa pelaksanaan pemilu kada langsung merupakan sebuah demokrasi revolusioner yang prematur. Jika dikaji secara yuridis, pelaksanaan pemilu kada secara langsung masih menimbulkan pro-kontra. Meskipun konsepnya sama dengan pemilu, pemilu kada berbeda dengan pemilu. Pokok permasalahannya menyangkut peran KPU dan KPUD. Ada ketidaksinkronan pada “aturan mainnya”. ketidaksingkronan ini bisa dilihat pada;
“Undang-Undang No 32 Tahun 2004 menetapkan KPUD sebagai penyelenggara pemilukada dan bertanggung jawab kepada DPRD (pasal 57 ayat 1 dan 2). Di sisi lain, Undang-Undang No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu dan UU No 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden menegaskan bahwa KPU Provinsi/Kabupaten/Kota merupakan satu kesatuan dengan KPU. Jadi, semestinya KPUD bertanggung jawab kepada KPU, tidak kepada DPRD. Jika KPUD bertanggung jawab kepada DPRD, peluang terjadi konflik politik dan konflik sosial semakin besar dan bisa menyebabkan chaos.”
Probematika yang sering muncul dalam pemilu kada;
Transparansi pendanaan dan logistik dalam pemilu kada. Kita tahu, saat ini hampir semua institusi pemerintah mencantumkan pemilu kada sebagai bagian kerja institusinya. Selain itu, besarnya anggaran pemilu kada, sangat riskan terhadap ‘penggelapan’ ke kantong pribadi. Di sini, mentalitas dan netralitas birokrasi ataupun penyelenggara diuji.
Minimnya partisipasi masyarakat, ada yang tidak mau berpartisipasi dalam pemilukada karena menganggap pemilu kada tidak bisa mengubah kondisi. Mereka seringkali mengatakan: “Siapa pun pemimpinnya, toh tukang becak ya tetap tukang becak, buruh ya tetap buruh, apa gunanya pemilukada.”
Konflik horisontal, pemilu kada secara langsung memungkinkan terjadinya dukung-mendukung terhadap calon secara fanatik. Kefanatikan berpotensi memicu konflik. Terlebih lagi, jika ada calon yang melakukan black campaigne (kampanye hitam) untuk menjelek-jelakkan dan menjatuhkan lawannya. Konflik tersebut dapat meluas menjadi konflik laten (agama, suku, golongan, kelas sosial, dan lain-lain) yang berbahaya.
Masalah paling populis adalah money politik. Money politik dalam pemilu kada secara langsung memang tidak seriskan pemilu kada melalui parlemen. Saya rasa bukan suatu hal yang mustahil jika pemilu kada penuh dengan money politik, mengingat pemilih dan yang dipilih berada dalam satu daerah (berbeda dengan pemilihan presiden/wakil presiden yang jangkauan wilayahnya adalah negara).
Kalaupun tidak ada money politik secara langsung, ‘kontrak iklan’ di media massa juga dapat dikatakan sebagai money politics. Mengapa? Karena media massa adalah salah satu alat pembentukan opini, dan mereka yang beriklan adalah mereka yang punya uang. Kalau uang sudah bicara, ketika terpilih pun orientasi pertamanya adalah uang. Nah lo…udah bosan belum melihat iklan-ikan pemilu kada di tipi-tipi?
Dari sederet problematika pemilu kada, saya akan sedikit share beberapa hal yang mungkin bisa menjadi sedikit solusi di tengah bara kekisruhan yang dipicu oleh ritual suci berlabel pemilu kada;
Pertama, mengantisipasi hal-hal yang belum diatur dalam UU No. 32/2004. Dimana usulan mengajukan UU pemilukada yang tersendiri sedang dibicarakan dengan lembaga legislatif. UU No. 32/2004 menjadi ‘cantelan’ dari UU pemilukada tersebut. Kedua, Menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) supaya ke depannya tidak perlu membuat perpu-perpu yang fungsinya melengkapi kekurangan UU.
Solusi berdasar rentang waktu;
Jangka pendek, perlunya menyelesaikan permasalahan hukum seputar pengangkatan kepala daerah. Jangka menengah, mengevaluasi DIM dan pelaksanaan pemilu kada di daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus seperti di Aceh dan Papua. Jangka panjang, perlu direvisi UU No. 32/2004 sambil menyiapkan dasar-dasar untuk UU pemilu kada.
Semoga dengan minimnya kecurangan dalam penyeleggaraan pemilu kada, dapat terpilih pemimpin daerah yang sesuai dengan keinginan rakyat, bukan raja kecil baru yang berorientasi untuk memperkaya diri. Dari calon-calon yang maju dalam bursa pemilu kada, sangat mungkin akan didominasi oleh petinggi-petinggi partai politik (parpol). Memang bukan masalah jika setelah terpilih mereka (petinggi-petinggi parpol) bisa memosisikan diri sebagai milik masyarakat yang mendapat amanat rakyat, tidak memosisikan diri sebagai milik partai yang mengemban amanat partai. Tetapi, akan lebih baik lagi jika ada calon independen yang maju, tentunya mereka yang memiliki reputasi dan track record yang baik.

Selasa, 08 Januari 2013

kelahiran dan kematian

Kematian, bagian dari lautan kehidupan*


"Katakan, Darvish, apa yang terjadi pada saat kematian?"—tanya seorang Sultan.
"Kematian? Kenapa menanyakan tentang kematian? Kenapa tidak tentang kehidupan? Lagipula, Sultan, begitu banyak alim ulama dan cendikiawan yang mengililingi Baginda. Mereka pandai menafsirkan ayat-ayat suci. Tanyakan kepada mereka."—jawab Sang Darvish, Sang master.
"Saya sudah menanyakan kepada mereka, dan jawaban mereka sangat tidak memuaskan."
"Ah, kalau begitu Baginda sedang mencari jawaban yang bisa memuaskan. Berarti, Baginda sudah memiliki pandangan. Lalu, setiap jawaban dicocok-cocokkan dengan pandangan itu. Rupanya, sementara ini tidak ada jawaban yang cocok dengan pandangan Baginda. Dan Baginda tidak puas."
Sang Sultan diam sejenak. Ia seorang pemimpin yang bijak dan memahami betul maksud Sang Darvish, "Mungkin, mungkin Darvish—mungkin demikian. Tetapi di atas segalanya, aku sedang mencari kebenaran."
"Mencari kebenaran, Aalam-Panaah (Pelindung Dunia—bhs. Persia)? 'Kebenaran'—Al-Haqq?"
"Ya, Kebenaran."
"Tetapi Kebenaran itu sangat menyilaukan. Seperti cahaya seribu matahari. Sanggupkah Baginda menatapnya?"
"Aku akan berusaha..."
"Baik, baik. Jika demikian, dengarkan! Kau bukan seorang Sultan; bukan pula Aalam-Panaah, karena sesungguhnya yang melindungi alam semesta adalah Kebenaran itu sendiri. Kau pun dalam perlindungannya. Kau tidak lebih baik daripada cacing yang hidup dan mati di kali."—suara Sang Darvish seperti petir.
Wajah Sang Sultan menjadi merah, tetapi ia berhasil menahan luapan amarahnya, "Terima kasih. Ya, Kebenaran itu sangat menyilaukan. Dan, untuk sesaat mataku pun hampir tertutup. Tetapi, aku masih sadar. Ya, aku tidak lebih baik daripada cacing yang lahir dan mati di kali. Itulah kebenaran diriku—kebenaran diri setiap insan, setiap makhluk hidup. Dibekali dengan kesadaran ini, layakkah aku mengetahui tetang kematian? Apa hakikat kematian?"
"Terbukti matamu bisa tahan silau. Tetapi, bagaimana dengan telingamu? Mampukah kedua telingamu mendengarkan Kebenaran? Suara Kebenaran melebihi suara geledek. Selaput telingamu bisa robek."
"Apa gunanya sepasang telinga yang tidak mampu mendengarkan Kebenaran? Biarkan selaput telingaku robek, aku tetap ingin mendengarkan Suara Kebenaran."—desak Sang Sultan.
"Baiklah, pada suatu ketika nanti aku akan datang ke istanamu, untuk menyampaikan Suara Kebenaran. Sekarang, pulanglah ke istanamu. Allah Haafiz—Semoga Allah melindungi kamu."—dan tanpa menunggu jawaban Sultan, Sang Darvish masuk kembali ke dalam gubuknya.
*****
Setahun kemudian, Sang Darvish mendatangi istana Sultan. Begitu diberitahu tentang kedatangan Darvish, Sultan pun bergegas ke gerbang utama untuk menjemputnya. Turut serta bersama Sultan, Sang Putra Mahkota—anak tunggal Sang Sultan. Mereka menyalami Sang Darvish, "Selamat datang. Silakan masuk Darvish."
"Tunggu dulu, biarkan aku memberkati putramu dulu."—kata Sang Darvish.
Lalu, ia menepuk-nepuk kepala pangeran seraya memberkatinya, "Kamu akan mati."
Sang Sultan seperti tidak mempercayai telinganya sendiri, "Apa?"
Di antara para menteri bahkan ada yang sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya.
"Apa yang kau katakan, Darvish? Untuk itukah kau datang ke sini? Untuk mengutuk anakku? Untuk menyumpahinya?"—Sang Sultan marah betul.
"Untuk mengutuk anakmu? Untuk menyumpahinya? Apa yang kau katakan, Sultan? Apa maksudmu?"—tanya si Darvish.
"Bukankah itu kutukan? Kata-katamu itu... oh semoga Allah mengampunimu! Bukankah kau menyumpahi anakku? Menyumpahi putra mahkota?"
"Kau keliru menafsirkan kata-kataku. Untuk apa aku harus mengutuk anakmu? Untuk apa aku harus menyumpahinya? Aku hanya memberikan sebuah pernyataan, 'Kau akan mati'. Dan pernyataanku itu berlaku bagi setiap insan, bagi setiap makhluk hidup. Yang lahir pasti akan mati. Aku hanya menyampaikan Kebenaran, Sultan. Kau pernah menanyakan, dan aku datang untuk menyampaikannya. Sultan, rupanya kau belum bisa menerima Kebenaran."
Sang Sultan mengenang kembali pertemuannya dengan Darvish itu. Ia masih ingat kata-kata Sang Darvish, "......bagaimana dengan telingamu? Mampukah kedua telingamu mendengarkan Kebenaran? Suara Kebenaran melebihi suara geledek. Selaput telingamu bisa robek."
Ia menundukkan kepalanya, "Benar, Darvish, kau benar... Suara Kebenaran melebihi suara petir, suara geledek. Selaput telingaku hapir robek."
"Itulah kebenaran. Pahit, sulit diterima. Hanya para pemberani yang bisa menerimanya. Dengarkan, Sultan—kematian itulah pintu menuju Kebenaran. Di balik kematian itu akan kau temukan Kebenaran. Kelahiran dan kematian ibarat ombak dalam lautan kehidupan. Sesaat ada, sesaat lagi tidak ada. Lautan kehidupan itulah Kebenaran, itulah Allah."
"Lautan Kehidupan, Kebenaran, Allah... Lalu untuk apa kelahiran ini? Untuk apa kematian ini? Untuk apa ada ombak?"
"Tanyakan pada laut, dan ia akan menertawakan kamu. Ombak? Ombak apa? Semuanya ini aku. Tidak ada yang terpisah dariku!"
Sang Sultan membisu. Ia baru sadar. Yang sedang ia hadapi bukanlah ombak—tetapi lautan kehidupan. Ombak tidak pernah berpisah dari laut. Yang melihat perpisahan adalah mereka yang belum menyatu, belum bersatu dengan laut. Mereka masih berada di pantai. Mereka merayakan munculnya ombak—itu yang mereka sebut "kelahiran". Lalu mereka menyayangkan lenyapnya ombak—itu yang mereka sebut "kematian". Padahal kelahiran itu tidak ada, kematian pun tidak ada. Yang ada hanyalah lautan kehidupan.
"Kenapa para alim-ulama, para cendikiawan tidak dapat melihat kebenaran itu?"—tanya Sang Sultan. Tetapi, sudah terlambat. Yang menjawab sudah tidak ada lagi. Sang Darvish sudah pergi. "Ah, aku terlambat lagi."—pikir Sang Sultan.
"Terlambat untuk apa?"—tanya tiupan angin yang kebetulan sedang lewat.
"Terlambat bertanya. Dan, sekarang Darvish itu sudah tidak ada. Tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaanku."
"Pertanyaan dan jawaban bagaikan kelahiran dan kematian. Dalam kelahiran ada kematian, dan dalam kematian ada kelahiran. Dalam pertanyaan ada jawaban, dan dalam jawaban ada pertanyaan."—sambil berkicau, seekor burung menjawabnya.
Seorang darvish, lalu tiupan angin, dan sekarang kicauan burung. Mereka semua sedang menjawab pertanyaannya. Tiba-tiba, ia mendengar suara muezzin, "Allahu Akbar......"
Ya, Allah Maha Besar, Maha Luas...... Dan untuk terakhir kalinya, Sang Sultan bingung kembali. Kebingungan yang indah, yang manis, "Ke arah mana aku harus menoleh? Apa yang harus kujadikan kiblatku? Di mana-mana kulihat Wajah-Nya......"
*****
Tiupan angin menyebarkan ihwal kebingungan Sang Sultan. Kicauan burung menyampaikannya sampai ke pelosok-pelosok.
Sore itu, para alim-ulama dan cendekiawan berkumpul, "Sultan kita sudah dipengaruhi oleh seorang darvish yang tidak tahu-menahu tentang peraturan agama. Kita harus bersatu untuk menyingkirkan dia dari kekuasaan. Ia harus turun, karena sudah tidak layak menjadi pemimpin lagi. Ia menyangsikan peraturan agama tentang kiblat. Ia seorang murtad, kafir..."
Bersama, mereka mengeluarkan fatwa:
"Ketahuilah, rakyat yang saleh dan taat pada peraturan agama, bahwa yang memimpin kalian selama ini telah menyangsikan akidah agama. Oleh karena itu, ia tidak patut menjadi pemimpin lagi."
Kembali tiupan angin berlaga dan berita ini pun tersebar dalam sekejap. Sang Sultan yang masih bingung dan belum bisa menentukan kiblatnya mendengarkan pula. Lalu, tiba-tiba ia ketawa terbahak-bahak, "Ah, demikianlah Kebenaran.........."
Malam itu, ia meninggalkan istananya.
*****
Dalam pengembaraannya, pada suatu ketika ia bertemu dengan Sang Darvish. Tidak terjadi dialog apa pun. Mereka saling peluk-pelukan. Lalu, sesaat kemudian berpisah kembali. Masing-masing melanjutkan perjalanannya.....

*) Diketik ulang dari buku "Kematian: Panduan untuk menghadapinya dengan senyuman", karangan Anand Krishna, Gramedia, 2008. Buku-buku lain yang menarik untuk dibaca, seperti: "Alam kehidupan sesudah mati", karangan Gede Kamajaya, Paramita (2001), dan "Dialogue with Death", karangan Eknath Eswaran (1992).