Senin, 28 Januari 2013

fenomena serangan fajar


Fenomena Serangan Fajar : Money Politic

Menurut UU pemilu No.3 tahun 1999, UU pemilu No.12 tahun 2003 dan UU pemilu No. 10 tahun 2008, tentang pemilihan umum, pada umumnya penjelasan kata-perkatanya sama: merupakan sarana demokrasi guna mewujudkan sistim pemerintahan Negara yang berdaulat.
Pemerintah Negara yang di bentuk melalui pemilihan umum itu adalah berasal dari rakyat, dijalankan sesuai dengan kehendak rakyat, dan diabadikan untuk kesejatraan rakyat. Ali moertopo mengungkapkan pendapatnya tentang pemilu sebagai sarana demokrasi penting. Pemilu merupakan hal nyata keikutsertaan rakyat dalam kehidupan kenegaraan hal tersebut karna rakyat punya hak memilih dengan bebas wakil-wakilnya.
Pesta demokrasi rakyat yang diselenggarakan lima tahun sekali, pelaksanaan ajang tahunan ini, lebih jauh lagi akan menjadi piagam hitam Award tersendiri bagi pelaku-pelaku oportunis yang suka bergentayangan, sesuai dengan judul catatan “FENOMENA SERANGAN FAJAR: MONEY POLITIC”. Sarana demokrasi berubah menyerupai setan-setan kedurhakaan dalam bentuk produk serangan fajar dari tahun ke tahun pasti tak dapat terhindarkan.
Bukan peluru yang dimuntahkan dari mulut senjata laras panjang sebagai tanda mulainya peperangan namun, kejadiannya ialah: serentetatan tembakan sembilan bahan pokok dan uang dan iming-iming dan kepalsuan janji-janji datang dengan dadakan silih berganti di waktu subuh. Saya, tidak menjastifikasi tapi, bisa dikatakan politik dagang sapi elite partai selalu dinakodai oleh sub politik terpelajar partai politik. Padahal, ada formula instant legal yang bisa di pakai tanpa mengunakan pelaksanaan yang berdampak pada pencitraan keburukan seberapa tinggi atau rendah, tingkat sosial si-calon bersangkutan, semakin memberi semakin dikenal, semakin besar pula kemungkinan menang pertarungan.
Terbukti mereka menggunakan segala cara-cara marketing politik yang sangat professional agar suara rakyat dapat diperjual belikan sebagai lahan komoditi bisnis politik sesaat yang sangat mengiurkan untuk merebut kursi-kursi pertarungan eksekutip maupun legislatife.
Berdasarkan pasal 22E ayat 1 UU dasar Negara republik Indonesia tahun1945, pemilu dilaksanakan yaitu, langsung, bebas, umun, rahasia, jujur dan adil. Sangat penting mengedepankan aspek demokrasi yang didasarkan peraturan berlaku dalam pengambilan keputusan atau pembuat kebijakan agar kebijakan yang dibuat mendapat dukungan dari pelaksanaan kebijakan dibuat.
Fenomena yang sesuai dengan sepenggal penjelasan diatas merupakan hal yang masi sangat sulit diberantas. Teori dan ketetepan aturan undang-undang hanya pelengkap sistim Ke-Negaraan, politik Indonesia. Maka itu, praktek serupa sangat tidak baik bagi proses pendidikan politik dan demokrasi rakyat. Harus bisa sedapat mungkin diminimalisir, kalau memang tak bisa diratakan secara keseluruhan.
Dipelajari secara seksama kesempatan ini, ada pertanyaan sampe mana tingkat kesejadraan rakyat ikut serta dalam kehidupan bernegara? Belum bisa terjawap, karna relatife rendahnya tingkat kesejatraan masyarakat Indonesia, buruknya infrakstruktur pendukung yang membuat pemilih mudah terprofokasi kampanye kambing hitam. Dengan bertambahnya masalah yang sengaja terciptakan tanpa ujung penyelesaian. Maka rekam jejak, kejujuran, intregritas sang tokoh sebagai pertimbangan utama menjatuhkan pilihan bagi pemilih tidak lagi digunakan untuk bahan rasionalitas memilih apabilah nanti menghadapi bilik suara. Karna sebagian masyarakat sudah terkontaminasi ke alur pemikiran se-bungkus nasi bungkus yang dimana memandang pemilu ajang isi perut masal.
Oleh sebab itu, ada beberapa pengangamat politik menyatakan bahwa partai politik harus bertanggung jawap, ungkapan tangung jawap: turut merghadirkan peran partai politik sangat dasyat atas kejadian-kejadian money politik yang terus terjadi, parpol di nilai keliru melakukan sosialisasi politik sistim social dan sistim politik bukan sosialisasi dilalukan parpol tapi pencitraan menggunakan uang. Dampaknya sistim politik tersebut mengalami penyesuaian perubahan yang dikehendaki actor intelektual elit politik..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar