Satrio Pinandito Motinggo
“The optimist sees the rose and not its thorns,
the pessimist stares at the thorns, oblivious to the rose”
~ Kahlil Gibran 34]
the pessimist stares at the thorns, oblivious to the rose”
~ Kahlil Gibran 34]
Sebenarnya,
orang-orang yang tidak percaya bahwa ada kehidupan setelah mati adalah
orang-orang yang pesimis. Karena orang-orang ini secara tidak langsung
percaya bahwa tidak ada yang disebut kelestarian atau keberlangsungan
hidup. Dengan kata lain, mereka benar-benar tidak memiliki harapan yang
baik di masa mendatang.
Sementara itu ada juga orang yang bersikap terlalu optimis. Mereka
berpikir bahwa tak jadi soal apakah benar atau tidak, keberadaan alam
akhirat itu, sebaiknya kita percaya saja. Namun yang paling menyedihkan
dari kesemuanya itu adalah apabila seseorang berpikir bahwa tidak ada
kehidupan setelah kematian.
Mungkin saja banyak alasan yang mendukung kepercayaannya, tetapi kepercayaan seperti itu jelas lebih buruk dari kematian.
Kahlil Gibran mengatakan, ”Seorang optimis melihat bunga mawar, bukan duri-durinya. Sementara seorang pesimis menatap duri-duri dan mengabaikan bunga mawar”
Jika kita melihat perkembangan ilmu genetika yang sudah sedemikian
pesat, seperti cloning misalnya, hal ini merupakan sebuah gambaran yang
sangat gamblang akan mungkinnya seseorang dibangkitkan kembali seperti
semula.
Banyak orang yang bahkan berharap melalui beragam fenomena ingin
memperoleh bukti tentang keberadaan kehidupan alam akhirat, namun
anehnya, mereka menemukan 99 % kekecewaan. Sekali lagi, hal ini
disebabkan oleh sudut pandang yang pesismistis.
HANYA KEHIDUPAN, BUKAN YANG SELAINNYA
Abraham Maslow mengatakan,”Pahamilah berbagai pengalaman batin, pengalaman subyektif, pengalaman lisan, sehingga pengalaman-pengalaman ini dapat diwujudkan dalam dunia abstraksi, dunia percakapan, dunia sebutan, dst.
Abraham Maslow mengatakan,”Pahamilah berbagai pengalaman batin, pengalaman subyektif, pengalaman lisan, sehingga pengalaman-pengalaman ini dapat diwujudkan dalam dunia abstraksi, dunia percakapan, dunia sebutan, dst.
Yang
konsekwensinya dengan segera memberi kemungkinan untuk mengontrol
proses bawah sadar dan proses yang tak dapat dikendalikan.” 35]
Salah satu gagasan terpenting kaum Arif adalah bahwa kehidupan itu
adalah hidup itu sendiri sementara kematian adalah kematian itu sendiri.
Atau dengan kata lain, untuk kehidupan tidak akan pernah ada kematian
dan untuk kematian tidak akan pernah ada kehidupan.
Untuk mempelajari filsafat dan metafisika, keduanya mesti melalui
kehidupan ini, sehingga siapa pun dapat membuktikan bahwa hidup itu
berkelanjutan. Oleh karenanya kaum Arif mempraktekkan proses yang
dengannya ia sanggup menyentuh bagian kehidupan itu di dalam diri mereka
sendiri sehingga mereka terlepas dari pengaruh kematian.
Dan dengan menemukan bagian kehidupan ini, kaum Arif secara alamiah
mulai merasakan kepastian hidup. Hal ini juga yang membuat mereka makin
meyakini akan hidup itu sendiri ketimbang apa pun di dunia ini. Karena
lewat kehidupan itulah mereka mampu melihat esensi perubahan dan
keterbatasan segala sesuatu.
Mereka
benar-benar meyakini bahwa segala sesuatu yang dibangun pasti akan
rusak, segala sesuatu yang disusun pasti akan runtuh dan segala yang
dilahirkan pasti akan mati.
Di dalam penemuan atas realitas kehidupan ini akhirnya mereka menemukan
diri mereka sendiri dan itulah kehidupan yang sesungguhnya, sehingga
pada akhirnya segala sesuatu yang mereka ketahui selain kehidupan itu
sendiri mulai mereka rasakan tak lagi bermakna.
MENEMUKAN KEHIDUPAN DI DALAM DIRI SENDIRI
Dengan jalan apa seseorang menemukan kehidupan di dalam dirinya, dimana ia sendiri tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mengalami kematian? Apakah dengan menganalisa diri?
Dengan jalan apa seseorang menemukan kehidupan di dalam dirinya, dimana ia sendiri tidak pernah dilahirkan dan tidak pernah mengalami kematian? Apakah dengan menganalisa diri?
Akan tetapi bukankah analisa diri menurut ajaran para mistikus berarti
memahami sarana raga ini untuk kita dimana kita berdiri dengannya?
Lalu apa yang kita sebut pikiran, dan terdiri dari apakah pikiran itu?
Dengan bertanya kepada diri kita sendiri, ‘Apakah aku ini adalah tubuhku ini, ataukah aku ini hanya berupa pikiranku semata?’
Di lain waktu seseorang bisa saja melihat bahwa dirinya adalah orang
yang mengenal raganya dan pikirannya, akan tetapi hanya bila ia dapat
memegang raga dan pikirannya seperti memegang dua buah pelampung, yang
membuatnya terapung di atas air.
Demikian juga ketika raga berada di dalam posisi kritis, maka pikiran
menjadi juru selamat dari bahaya tenggelam dalam telaga kematian.
APA ITU KEMATIAN SESUNGGUHNYA?
“Dia sedang menyatu, dia tidak melihat, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak mencium (bau), mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak merasa, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak bicara, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak mendengar, mereka berkata; dia sedang menyatu,
Dia tidak berpikir, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak menyentuh, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak mengetahui, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Ujung hatinya bercahaya dan dengan cahaya itu dirinya lepas melalui mata atau melalui kepala atau melalui lubang-lubang ragawi.
Dan ketika dirinya lepas, kehidupan meninggalkannya.
Dan ketika kehidupannya lepas, semua nafas vital meninggalkannya.
Dia pun lalu menyatu dengan intelejensia.
Lalu apakah intelejensia akan meninggalkannya?
Ilmunya dan amalnya menggenggamnya, demikian juga pengalaman masa lalunya?” 36]
“Dia sedang menyatu, dia tidak melihat, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak mencium (bau), mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak merasa, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak bicara, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak mendengar, mereka berkata; dia sedang menyatu,
Dia tidak berpikir, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak menyentuh, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Dia tidak mengetahui, mereka berkata: dia sedang menyatu,
Ujung hatinya bercahaya dan dengan cahaya itu dirinya lepas melalui mata atau melalui kepala atau melalui lubang-lubang ragawi.
Dan ketika dirinya lepas, kehidupan meninggalkannya.
Dan ketika kehidupannya lepas, semua nafas vital meninggalkannya.
Dia pun lalu menyatu dengan intelejensia.
Lalu apakah intelejensia akan meninggalkannya?
Ilmunya dan amalnya menggenggamnya, demikian juga pengalaman masa lalunya?” 36]
Bukankah kematian itu hanya konsepsi kita saja? Sehingga dengan membuat
konsep kematian tersebut kita dapat mengenal hakikat kehidupan yang
sesungguhnya.
Dan dengan mengenal kehidupan yang sesungguhnya serta membandingkan
antara kehidupan yang sesungguhnya dan kematian, kita semakin sadar
bahwa sebenarnya kematian itu tidak ada.
Mungkin yang paling mudah untuk dipahami bahwa sesungguhnya kematian itu
hanya sebuah pintu untuk memasuki kehidupan lainnya. Kematian hanya
sebuah barzakh (antara) menuju sebuah kehidupan lainnya. Kematian hanya sebuah istilah di mana seseoarng sedang memulai sebuah kehidupan baru.
Seorang Arif tidak sekadar belajar. Ia juga menyelami dan menyadari
kehidupan ini. Dengan menyadari hidup, ia menyadari kematian. Dan
baginya, baik hidup atau pun mati, adalah kondisi.
Akan tetapi ia tidak berada di dalam kondisi-kondisi tersebut, karena ia
bahkan menciptakan kondisi tersebut. Bagi sang Arif, kondisilah yang ia
bawa dan ia ciptakan. Sedangkan bagi orang lain, kondisi membuat mereka
tiada berdaya.
Untuk sampai pada realisasi ini (realisasi akan kehidupan dan kematian)
adalah dengan jalan tidak sekadar mempelajarinya. Jadi jika demikian,
untuk apa kita mempelajari kesemuanya termasuk kehidupan itu sendiri?
Untuk objek yang kita pelajari! Namun juga mesti disadari bahwa tidak
segala sesuatu yang kita pelajari didasarkan pada objek yang dicari.
BELAJAR DARI RUMI
Jika seseorang ingin mengetahui rahasia hidup, maka pelajaran pertama untuk tidak mempelajari adalah manakah yang kita sebut sebagai pelajaran. Tentu ini sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami. Bila kita membaca kehidupan Rumi dan gurunya, Sham-e Tabriz, pelajaran pertama yang terakhir diberikan kepada Rumi adalah tidak mempelajari apa yang telah ia pelajari.
Jika seseorang ingin mengetahui rahasia hidup, maka pelajaran pertama untuk tidak mempelajari adalah manakah yang kita sebut sebagai pelajaran. Tentu ini sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami. Bila kita membaca kehidupan Rumi dan gurunya, Sham-e Tabriz, pelajaran pertama yang terakhir diberikan kepada Rumi adalah tidak mempelajari apa yang telah ia pelajari.
Apakah dengan tidak mempelajari membuat orang lupa terhadap yang telah
ia pelajari? Tidak mempelajari ini berarti mampu berkata dengan alasan,
secara logis, bertentangan dengan apa yang telah ia pelajari.
Bila seseorang terbiasa berkata: ini salah, itu benar. Ini baik dan itu
buruk. Ini besar dan itu kecil. Ini lebih tinggi dan itu lebih rendah.
Ini spiritual dan itu material. Ini atas dan itu bawah.
Ini sebelum dan itu sesudah. Jika seseorang dapat menggunakan kata-kata
berlawanan pada masing-masingnya dengan akal dan logika, secara alamiah
ia telah tidak mempelajari yang telah ia pelajari. Setelah ini
realiasasi akan kebenaran dapat dimulai.
Kemudian
pikirannya tidak teratur lagi. Kemudian ia mulai hidup, jiwanya telah
lahir. Kemudian ia menjadi toleran dan memaafkan. Kemudian ia akan
memahami kawan dan lawan. Kemudian ia tidak pernah hanya memiliki satu
sudut pandang. Ia memiliki semua sudut pandang. Tidakkah hal ini
berbahaya?
Apakah ini akan menghilangkan sudut pandangnya sendiri? Tidak. Orang
bisa menduduki satu kamar di dalam rumah atau sepuluh kamar. Orang dapat
menggunakannya sesukanya sesuai dengan berapa banyak sudut pandang yang
dapat ia lihat, betapa besar sudut pandangnya.
Semua ini dapat dicapai melalui proses meditasi, dengan menyetel
dirinya, membawa dirinya ke dalam ritme yang tepat. Dengan konsentrasi,
kontemplasi, meditasi dan realisasi. Melalui mati dan hidup sekaligus
pada saat yang sama.
Untuk memunculkan kematian pertama-tama ia harus mati. Hal penting dan
paling besar agar manusia dapat menyempurnakan hidupnya adalah satu dan
hanya satu, yaitu memunculkan konsepsi kematian.
Untuk mencabut konsepsi kematian seseorang harus memainkan kematian, dan
berusaha mengenal apa kematian itu. Memainkan kematian adalah pelajaran
besar. Yang kita lakukan adalah hal yang salah, karena kita memainkan
kehidupan bila kita berada di bawah kematian.
Jika kita memainkan kematian ia akan menjadi sesuatu yang nyata dan
tidak pura-pura. Dengan melalui ini kita akan menemukan kehidupan.
Karena kita mengalami kematian dengan memainkan kehidupan, dan kita
mengalami kehidupan dengan memainkan kematian.
Yang kita sebut kematian adalah kematian raga ini. Dan jika kita
menghubungkan diri kita dengan raga ini sebagai wujud kita, maka ini
berarti mati. Orang awam bertanya kepada temannya, ‘Bagaimana aku tahu
bahwa aku mati?’ Temannya menjawab, ‘Mudah saja. Jika jaketmu licin dan
basah. Itulah tanda kematian.’
Ketika temannya ini melihat jaketnya licin dan basah, ia mulai berpikir
bahwa ia mati dan ia pun menangis. Kemudian orang lain mendatanginya dan
berkata, ‘Itu kan cuma jaketmu yang licin dan basah. Kok kamu menangis. Kamu masih hidup!’
Di atas semua itu proses meditasilah (tafakkur & tadzakkur)
yang dapat menemukan dimanakah ia dan apakah ia. Ini tidak menjadi
sebuah kepercayaan melainkan keyakinan dan bahkan lebih dari keyakinan,
karena ia adalah sebuah pendirian.
Ada seorang raja yang berpikir bahwa ia ingin menyerahkan kerajaannya
dan ingin jadi murid saja. Ia ingin menyerahkan semua hal duniawi dan
menenggelamkan dirinya dalam dunia spiritual.
Dan ketika ia pergi ke Bukhara dengan bimbingan seorang guru, sang guru
memberinya tugas sebagai masa percobaan; dan tugas itu adalah
membersihkan dan menyapu seluruh ruangan tempat murid-muridnya tinggal,
juga mengumpulkan sampah dan membawanya ke luar desa.
Tentu saja murid-murid lain bersimpati kepadanya dan heran bahwa orang
yang dulunya raja mau melakukan pekerjaan itu. Mereka berpikir bahwa
semua itu pasti berat baginya. Sang guru tahu mengenai sesuatu yang
tidak dapat ia lakukan sebelum ini.
Dan murid-murid mendatangi guru mereka, ‘Guru, kami semua bersimpati
kepada orang itu, kami kira orang itu sangat beradab, sangat berbudaya,
sopan, dan kami sangat senang jika guru membebaskannya dari tugas ini.’
Guru berkata, ‘Kita semua akan diuji.’
Suatu hari ketika mantan raja itu pergi keluar desa untuk membuang
sampah, ia bertubrukan dengan seseorang dan membuat keduanya terjatuh.
Ia menoleh dan berkata, ‘Aku tidak mengalami kejadian seperti ini selama
ini. Asal kamu tahu saja!’ Dan ketika kejadian ini dilaporkan kepada
sang guru, sang guru berkata, ‘Sudah aku bilang, saatnya belum tiba
‘kan?’
Setelah beberapa waktu, dibuat lagi ujian untuknya. Dan kejadian yang
serupa terjadi lagi, dan mantan raja hanya menoleh kepada orang yang
mendorongnya serta tidak berkata apa-apa. Guru berkata lagi, ‘Tidakkah
aku bilang, memang belum waktunya?’
Tetapi untuk yang ketiga kalinya, ketika diuji bahkan ia tidak menoleh
ke orang yang telah mengganggunya. Ia malah memunguti sampah yang jatuh
berceceran dan membawanya pergi. Maka sang guru berkata, ‘Nah, sudah
waktunya! Dia sekarang dapat memainkan kematian!’
Bila kita memikirkannya, apa maksud dari semua itu? Tidakkah
kisah itu mengajarkan kepada kita bagaimana memainkan kematian? Orang
mungkin berpikir bahwa ini sangat berat dan sang guru sangat kejam.
Tetapi sang guru sebenarnya telah melalui pengalaman ini di dalam
periode kehidupannya dulu. Adakalanya kekejaman yang paling besar adalah
kebaikan yang paling besar.
Memang berat, tetapi jalan yang paling berat dapat ditaklukkan dengan
cara seperti ini. Dan sudah berapa kali kita mengambil hati kepada
hal-hal yang tidak perlu?
Sudah berapa sering kita menjadi penyebab ketidakharmonisan hanya karena
hal-hal yang sebenarnya dapat dihindari? Ada yang memainkan kehidupan
dan ada yang memainkan kematian. Jika kita memainkan kematian, maka kita
sampai pada kehidupan. Bila kita memainkan kehidupan, maka kita sampai
pada kematian.
Memainkan
kematian adalah memunculkan kepekaan dan ketidakpekaan, karena apa yang
kita sebut kepekaan dan ketidakpekaan adalah milik tahapan tertentu.
Orang
dapat memunculkan tahapan tersebut. Maka semua menjadi peka. Di samping
ia akan menemukan bahwa orang-orang yang memainkan kematian atau
orang-orang yang telah memainkan kematian adalah orang-orang yang paling
terbuka dan bersimpati kepada penderitaan orang lain.
Sementara mereka sedang memainkan kematian, secara otomatis mereka juga
sedang memainkan kehidupan. Itulah kenapa mereka hidup untuk segala
sesuatu yang dapat membantu mereka untuk menolong orang lain, walaupun
mereka mati terhadap kesalahan-kesalahan yang datang kepada mereka.
Apakah kehidupan mistik, dari orang yang telah menyadari Tuhan, jika ia
tidak andil bagian? Bagian tidak satu bagian, tetapi seribu bagian. Ia
harus memainkan bagian budak, guru, anak, orangtua, teman, tetangga,
dsb. Dalam pikirannya ia menyadari kesatuan.
Dalam segala kapasitas yang ia mainkan, ia merasakan kemanunggalan
hidup. Dua belas rasul tiba-tiba dapat berbicara dalam berbagai bahasa,
dan sejak hari itu mereka dapat memainkan bagian-bagian dan menjawab
berbagai pertanyaan dari setiap orang dalam bahasanya masing-masing.
Inspirasi yang datang kepada mereka memampukan mereka memainkan bagian.
Jika seseorang ingin memainkan bagian, ini dapat disempurnakan dengan
tidak menonjolkan dirinya. Ia harus terpisah dari dirinya. Ini
keseluruhan rahasia, yaitu ketika seseorang tidak lagi memikirkan
dirinya sendiri.
Peniadaan adalah sebuah kata yang menakutkan, kenyataannya tidak ada
yang dilakukan kecuali bermain dengan nama yang berbeda, bentuk yang
berbeda, penampilan yang berbeda. Peniadaan diri pertama datang dengan
memuja bentuk atau penampilan lain.
Peniadaan tidak pernah membunuh seseorang. Ia fana di dalam Allah.
Inilah langkah pada jalan peniadaan. Satu langkah adalah peniadaan pada
ideal bentuk, kemudian ideal nama, terakhir peniadaan dalam tanpa nama
dan tanpa bentuk.
Dadu, mistikus dari Rajastan mengatakan, ”Saya bukanlah apa-apa, dan tiada melakukan apa pun. Sebenarnya, seorang pandir pun bisa saja mencapai Engkau dengan Rahmat-Mu” 37]
Rumi bersyair :
“Bersihkanlah dirimu
dari rona-rona di wajahmu,
dan lihat sejatinya siapa dirimu.
Cermatilah apa yang ada di dalam kalbumu
Sebab semua ilmu para nabi
Tanpa buku juga tanpa guru.
[Matsnawi I. 3460-1]
dari rona-rona di wajahmu,
dan lihat sejatinya siapa dirimu.
Cermatilah apa yang ada di dalam kalbumu
Sebab semua ilmu para nabi
Tanpa buku juga tanpa guru.
[Matsnawi I. 3460-1]
Catatan Kaki :
34] Jubrān Khalīl Jubrān, 1883-1931, penulis Libanon warga Amerika yang namanya sering dikenal sebagai Kahlil Gibran.
35] Abraham Harold Maslow, 1908-70, seorang psikolog Amerika dan memprakarsai eksponen psikologi humanistik. Lahir di Brooklyn, New York, dan studi di City College New York dan Universitas Wisconsin, Maslow menghabiskan waktunya dalam mengajar di Universitas Brandeis.
36] Upanishads, Brihad-aranyaka Upanishad, IV, 4, 1-2, S. Radhakrishnan, editor dan penerjemah, The Principal Upanishads, New York: Harper & Row, 1951, h. 269-70, 296
37] Dadu, 1544-1603, Jiwat Mritak; Orr, 1947, h. 142
34] Jubrān Khalīl Jubrān, 1883-1931, penulis Libanon warga Amerika yang namanya sering dikenal sebagai Kahlil Gibran.
35] Abraham Harold Maslow, 1908-70, seorang psikolog Amerika dan memprakarsai eksponen psikologi humanistik. Lahir di Brooklyn, New York, dan studi di City College New York dan Universitas Wisconsin, Maslow menghabiskan waktunya dalam mengajar di Universitas Brandeis.
36] Upanishads, Brihad-aranyaka Upanishad, IV, 4, 1-2, S. Radhakrishnan, editor dan penerjemah, The Principal Upanishads, New York: Harper & Row, 1951, h. 269-70, 296
37] Dadu, 1544-1603, Jiwat Mritak; Orr, 1947, h. 142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar