PERBEDAAN ITU INDAH
Senin, 04 November 2013
Minggu, 03 November 2013
embuh opo kiro2
MafiaWar (3): James Riady Intelijen Cina Yang Ingin Kuasai RI
JAKARTA (voa-islam.com) Konsolidasi
konglomerat cina itu tidak terlepas dari peran besar James Riady
(pemilik Lippo grup) yg pada 2009 jadi tim koordinator dana SBY. James
Riady berhasil himpun hampir semua konglomerat cina untuk mendukung
penuh Jokowi sebagai Gubernur DKI dan lanjut ke Presiden RI 2014.
Sama
seperti ayahnya, Mochtar Riady yang dibina oleh Liem Sioe Liong, James
Riady dibina antony salim (anak tertua Liem Sioe Liong), James terkenal
curang dan berani melanggar hukum, misalnya
saja memalsukan laporan keuangan Bank Lippo yang menggoncang pasar
modal RI dan timbulkan krisis kepercayaan investor asing. Yang parah James
Riady/Lippo melakukan teknik operasi Spionase utama pemerintah Cina, yg
sengaja menyuap Presiden Amerika melalui rekening bank Lippo kepada
Bill Clinton.
Tujuannya
bermacam-macam untuk kepentingan China : Perdagangan, kompromi keamanan
AS dan mencuri rahasia milter dan teknologi AS. Apalagi
Penyidik Kongres AS berhasil membongkar jaringan operasi James Riady yg
melibatkan lebih dari seratus orang, mayoritas Cina
James Riady punya ketertarikan khusus pada orang2 penting di kalangan politisi. Dan
pada thn 1991, sebuah entitas yang dikenal CIA sebagai samaran
intelejen militer Cina membeli saham di Bank Cina Lippo di HongKong.
Badan-badan
intelijen AS ( NSA, CIA dll) sejak awal mengenali China Resources Co
adalah sebuah entitas samaran intelijen militer Cina. Oleh para penyidik Kongres AS, mereka ini dijuluki "jaringan bambu" atau "Operasi Jaringan Bambu". James
Riady juga berhasil merayu Clinton utk longgarkan sanksi ekonomi
terhadap Cina, diberlakukan setelah pembantaian Tiananmen Square.
Clinton, seperti halnya Jokowi, kampanyenya signifikan didanai oleh James Riady. Clinton patuh pada James Riady. Penuhi banyak usulnya. Peristiwa itu masih jauh dari skandal Lippogate yang kemudian menyebabkan Presiden Clinton dijuluki "Presiden AS China Yang Pertama"
James
dan Keluarga Riady mampu menunjukkan pd dunia ttg hub istimewanya dgn
Presiden Clinton selama KTT APEC 1993 di Seattle, Washington.
Presiden Clinton menunjuk John Huang sbg asisten Menteri Perdagangan AS. John
Huang diketahui telah melakukan 70 kali pengiriman dan sepanjang waktu
itu, pengaruh China di Washington tumbuh sangat pesat. Para
penyidik kongres belakangan tahu Huang telah 37 kali menghadiri
briefing CIA untuk teknologi enkripsi yang diteruskan Huang Ke China.
Pihak
intelijen AS kemudian menemukan bahwa Huang telah mengirim informasi
rahasia perdagangan ke Grup Lippo kantor pusat di Jakarta. Selama
tahun 1994 dan 1995, pemerintahan Clinton diperbolehkan AT & T
untuk menjual sistem komunikasi yang aman untuk tentara Cina.
Singkatnya, John Huang & James Riady dicurigai keras sebagai agen intelejen militer China yg menyusup ke pemerintahan AS melalui Clinton.
Kemudian
terbongkarlah skandal Lippogate yang menghebohkan jagat politik AS dan
Dunia. Dimana James Riady dan Lippo dinyatakan bersalah.
Di
Indonesia, Lippo Grup dan James Riady melalui Dirut First Media Grup
Billy Sindoro ditangkap KPK karena menyuap Ketua KPPU M. Iqbal.
Itulah sepak terjang James Riady / Lippo Grup binaan Sakim Grup yg diduga keras sbg agen intelejen milter China dan dikenal sebagai kristen avengelis garis keras yg bercita-cita menjadikan Jokowi sebagai Presiden boneka Cina RI.
Pertanyaanya
adalah, setelah dikadalin James Riady, yakni ketika kasus Presiden
pertama Cina di Amerika dengan kasus Bill Clintonnya, masih percayakah
anda dengan demokrasi dan arus tsunami opini yang melambungkan Jokowi?
Berikut media yang disewa Kroni James Riady untuk Membawa Jokowi jadi Capres:1) First Media Grup (beritasatu1.TV beritasatu .com, suara pembaruan, Jakarta Globe, Suara Pembaruan, The Straits Times, Majalah Investor, Globe Asia, The Peak, Campus Asia, Student Globe, Kemang Buzz, Campus Life, Termasuk Beritasatu FM. First Media Grup adalah milik James Riady (Lippo Grup), konglomerat yang bersahabat baik dgn Bill Clinton dan terlibat Lippo Gate yg terjadi di AS, ketika James Riady cs tertangkap memberikan dana politik illegal kepada timses capres Demokrat Bill Clinton
2) Media lain yang dikontrak mahal untuk pencitraan palsu Jokowi adalah Detik Grup. Ngakunya milik Chairul Tanjung alias CT, tapi sebenarnya milik Salim Grup. Detik.com Setiap hari, detikcom memuat berita tentang pencitraan palsu Jokowi puluhan bahkan kadang lebih 100 berita.
3) Kompas /Gramedia Grup memang tidak segila detikcom siarkan Jokowi, tapi tetap punya KANAL BERITA KHUSUS
4) Jawa Pos Grup. Tidak melibatkan semua media milik Dahlan Iskan yang jumlahnya 185 TV, Koran, Online media, dll itu. Sekitar 40% JawaPos Grup dikontrak.
5) Yang paling gencar jilat Jokowi adalah Koran Rakyat Merdeka. Ada saja berita (palsu) istimewa tentang Jokowi. Kontraknya puluhan Milyar.
6) Tempo (majalah dan Online) adalah media pelopor yg orbitkan Jokowi dengan penghargaan "10 Tokoh Terbaik (penghargaan abal-abal), hny karena bisa pindahkan PKL.
7) Tribunnews Grup (Bosowa dan Kompas) juga dikontrak untuk pencitraan palsu Jokowi. Demikian juga Fajar Grup (Alwi Hamu / Dahlan Iskan)
8) Metro TV, ga tahu sekarang dibayar berapa untuk kontrak pencitraan palsu Jokowi sampai 2014. Tapi saat Pilkada DKI puluhan Milyar
9) SCTV grup. Pemiliknya Edi dan Popo Sariatmadja malah menjadi cukong utama. Koordinator media pencitraan Jokowi, membantu James Riady
10) Media raksasa lain seperti Vivanews grup (TV One, ANTV, Vivanewscom dll) milik Bakrie meski kontrak dgn Cukong Jokowi tapi porsinya kurang dari 30%
11) Selain media cetak, televisi mainstream, sosial media seperti twitter, facebook, kaskus dll juga dikontrak khusus. Ada ratusan orang dan akun sosial media palsu yang di pegang oleh 1500 orang yang mengelola lebih dari 10.000 akun sosial media. Dulu waktu pilkada DKI, selain orang-orang yang permanen kelola akun untuk pencitraan Jokowi, dibentuk juga Tim Jasmev. Puluhan Milyar biayanya
Luar biasa banyak media massa yang dikontrak cukong Jokowi. Lebih 70% dari total pasar media massa di Indonesia.
Apa maksudnya? Tak lain agar membentuk arus liar 'tsunami opini' pencitraan palsu untuk Jokowi dan memuluskan seakan rakyat mendukung Jokowi jadi presiden RI 2014. Tentunya dengan 10,000 akun palsu. [tm/voa-islam]
Sabtu, 20 April 2013
kolaborasi rasa
kepulanganmu yang sementara
Aku bosan terus-terusan terjerumus dalam rasa kehilangan. Apalagi jika kamulah penggerak di balik setiap alasan. Aku pun bosan harus memakan kata-kata manismu, hasil pelarian dari pahit yang mampir dalam hidupmu.
Jika ada dia, aku harus sukarela menyingkir. Jika tidak ada dia, aku diharuskan hadir. Pelampiasan atau sebuah permainan? Atau aku yang terlalu bodoh tak bisa melihat batas harapan dan kenyataan?
Kakiku berlari menjauhi titik-titik pencipta luka. Tapi saat aku nyaris mantap untuk pergi dari arenamu, ada saja tarikan-tarikan penggoda untuk tetap disana.
Pada langkah yang hampir terhenti, kamu ada. Pada harap yang perlahan memudar, kamu hadir. Tersisalah aku dengan sebuah keadaan, di mana arah yang semestinya kutuju masih samar. Entah harus terus berjuang atau memang tak perlu keluar sebagai pemenang. Kebahagiaanku masih terombang-ambing, aku terpaksa mengikuti ke manapun ia ditempatkan.
Pada kepulanganmu yang berulang, ada kata selamat tinggal yang siap-siap kembali kujelang. Kata selamat tinggal yang kuharap tak pernah lagi kudengar. Aku ingin kamu tetap di sini, mencipta bahagia dari dua sisi—bukan mencari bahagia kita sendiri-sendiri.
Akankah semua inginku hanya sanggup menjadi angan? Tak bisakah segalanya jadi kenyataan? Sebab rasa ini nyata, namun kedekatan kita hanya sebatas ini saja.
Setelah berperang dengan dirimu yang dirasuki perubahan, akhirnya kamupun pulang. Satu sapa pun bisa merapikan keretakan yang sempat tercipta. Satu senyum yang tulus darimu pun meluluhkan kaki yang nyaris melangkah dengan tekad serius. Angan terus berlanjut, tanpa ada kepastian yang bergelayut.
Seandainya tidak ada dia, apakah kamu akan memperjuangkan kita?Ketidakpastian semakin terlihat jelas, terutama saat percakapanmu dengannya belum berhenti. Aku takut jika nanti tumbuh cinta yang lebih besar lagi. Lalu kapan waktuku untuk menyediakan cinta? Lalu kapan seutuhnya kamu ada buatku?
Mengapa kamu pulang hanya untuk singgah, kemudian justru pergi lagi?
Mengapa kamu ke sini, namun sangat terlihat jelas bahwa dengannya kamu masih jatuh hati?
Sepasang mata ini mengharap temu, kedua tangan ini mendambamu. Sebab kebahagiaan terasa utuh dan sederhana kala kita bersama. Sebab senyuman tak sanggup terkata di saat kita berjumpa. Tidak bisa kamu di sisi untuk selamanya? Lalu tetapkan pilihanmu sehingga tak perlu ada angan yang merasa dimainkan.
Titik akhirnya, memang aku yang harus selalu rela. Datang dan pergimu hanya repitisi percuma yang entah mengapa tetap saja mampu membuat bahagia. Sederhananya, bahagiaku tertitip di kamu. Jika kamu menuju arah yang bukan aku, begitupun bahagiaku menjauh. Entah hingga kapan harus terikat padamu. Sebab jatuh hati ini telah terlanjur, tak mungkin aku bisa mundur.
Izinkan aku membuktikan bahwa hati ini pun berhak disuguhi kesempatan.Dengan ramuan rasa sederhana, aku akan membangunkanmu dari hibernasi lelahnya kepercayaan hati. Aku akan melahapmu separuh, biar kamu tahu ke mana ruang itu kau berikan dengan utuh. Aku menunggu sampai kamu mengandalkanku bukan hanya saat butuh, tapi karena akulah prioritas bahagiamu terisi penuh. Itu bukan keinginan yang muluk-muluk, kan?
Kebahagiaanku kini masih bertumpu pada ketidakpastian. Entah kapan, tapi pasti kita akan bahagia dengan pelengkap pilihan Tuhan. Tapi untuk sekarang, doaku masih menyelipkan namamu sebagai penghantar kebahagiaan.
relakanmu bersamanya
Wadah angan-angan semakin terisi penuh, kini ketinggian mereka seperti tak terengkuh. Di dalamnya, ada kita dengan indah cerita yang tak mungkin dijadikan nyata. Di dalamnya, ada aku yang begitu bahagia. Di dalamnya, ada kamu yang sedang jatuh cinta. Namun, mimpi memang tidak bisa bertahan terlalu lama. Karena aku perlahan menyadari bahwa cerita kita memang tak akan pernah ada. Semesta sedikit demi sedikit mengirimkan hujan kenyataan, agar aku bisa berhenti menciptakan khayalan di luar jangkauan.
Siapa sebenarnya yang berperan sebagai tokoh antagonis hingga tak jarang aku menangis? Aku sendirikah yang terlalu jahat memberi seutuhnya hati untuk rela disakiti? Atau dia yang tak mampu menjaga hatiku dengan hati-hati sampai retak berkeping seperti ini? Menjaga? Ah aku salah lagi.
Dia memang tak pernah benar-benar mau memiliki. Ekspektasiku saja yang terlalu malas menginjak bumi, ia terlalu tinggi. Cerita-cerita kita yang kukira akan sempurna, ternyata tak berakhir bahagia. Yang kutahu tentang masa depan itu kamu, tapi malah kamu yang menyuruhku untuk tetap berpijak saja pada masa lalu dan berhenti di situ.
Yang kutahu tentang perjuangan itu kita, tapi ternyata hanya aku yang berusaha. Bagaimana bisa? Bagaimana caranya membuatmu melihat apa yang kulihat sementara kita sama-sama telah buta akan tujuan yang berbeda?
Hingga akhirnya hati kecil membujuk untuk aku segera merelakan. Bukan suatu hal yang sulit, hanya mungkin butuh waktu. Butuh waktu yang tak sebentar bagi hati untuk merapikan serpihan demi serpihan. Butuh waktu yang tak sebentar bagi diri untuk menerbangkan segenggam kemungkinan-kemungkinan. Butuh waktu yang tak sebentar untuk menyadari, bahwa satu-satunya jalan adalah dengan membiarkanmu pergi. Ialah aku, dengan tanpa keberanian untuk mengaku. Ialah aku, yang menyerah sebelum benar-benar memperjuangkan.
Kau tahu, aku seperti mengejar kereta yang tak pernah kutahu akan tiba. Aku seperti memperjuangkan yang belum mau diperjuangkan karena buatnya aku pun belum pantas diistimewakan. Mungkin lain kali bukan objeknya yang harus kuperjuangkan, tapi kesetaraan perasaan.
Awal yang menggebu, ternyata meninggalkan sisa-sisa rasa yang dinilai tak bermakna seperti abu. Tapi aku ingin menerbangkannya, mungkin agar bisa sedikit saja kau merasakannya. Meski aku tahu, untuk merasa saja takkan bisa mengubah apa-apa. Pun kepemilikan hatimu yang telah dipegang oleh dia. Aku berserah pada Tuhan Sang penentu arah. Aku melambaikan tangan pada kamu yang bersiap masuk dalam kolom masa lalu.
Nyatanya tidak perlu ada perjuangan. Sebab hatimu telah ada yang memenangkan. Sebagai pihak yang mengalah dan sudah mengaku kalah, kemudian aku mengubah arah. Meski hati sepenuhnya masih ingin menujumu, namun kenyataan menyadarkan bahwa rasa kita tak bisa saling temu.
Kukantongi bahagiamu dengannya, supaya aku akan tetap ingat bahwa aku boleh berada pada kondisi yang sama. Karena seharusnya tidak hanya hari-harimu yang indahnya tanpa jeda, tapi milikku juga.
tertunda
Ada yang seharusnya punah sebelum hati menjadi patah. Mungkin namanya asa. Ada yang seharusnya diberikan, tapi masih disimpan Tuhan. Mungkin namanya kesempatan. Ada yang seharusnya dihentikan, sebelum luka jadi lintasan perjalanan. Mungkin namanya perasaan. Barangkali hati terlalu cepat jatuh pada waktu yang tak tepat. Bukan objeknya yang salah, tapi mungkin kali ini aku harus mengalah. Kesempatan yang tadinya terlihat begitu jelas, kini hilang semudah melayangnya kertas.
Bukan salahmu yang mungkin seperti tak menghargai perasaan. Salahku, yang berharap hanya pada kebetulan. Bukan salahmu yang tak juga sadari keberadaan. Salahku, terlalu lama di dalam tempat persembunyian. Hingga pada akhirnya semua kata kunci membawaku pada sebuah kenyataan yang harus dijalani. Bahwa meski belum dimiliki, namun ada yang telah kauberikan kepadanya dengan sepenuh hati.
Entah kesempatan yang memang belum ada, atau aku mungkin sudah pernah melewatkannya.
Maaf atas keterlambatanku untuk menyadari sepenting itu adamu. Jeda sinyal yang terlambat keluar, mungkin telah berbekal sesal. Hingga akhirnya aku tahu, kesempatan belum ada karena seseorang lain telah masuk dan membuat hatimu mulai kesempitan. Penuh, mungkin sepenuhnya menurutmu utuh. Sedangkan aku, hilang separuh dan sisanya lumpuh.
Jika benar putaran kesempatan pernah kulewatkan, mungkin itulah definisi dari sebuah kesalahan yang mendewasakan. Aku berhenti mengetuk. Bukan karena sudah hati remuk, tapi tak ingin kulihat penghunimu mengamuk.
Barangkali akan ada kesempatan, namun tak tahu harus menunggu sampai berapa lama. Barangkali akan ada sepenggal cerita yang sedikit diubah, namun kepastiannya masih entah. Barangkali aku memang akan hidup di antara rangkaian barangkali, hanya karena belum siap untuk menghadapi. Bila nanti kesempatan memang ada, kamu tahu, akan kugunakan itu tanpa sia-sia. Sekarang, mungkin sudah cukup dengan melihatmu teramat bahagia, meski harus dengannya.
Aneh. Meski namamu masih seratus persen mengisi hati, tapi mengapa kekosongan ini tak berhenti kucicipi? Bukankah kita lahir pada kebetulan? Tapi kebetulan pulalah yang akhirnya mematikan. Bukankah kita sama-sama tahu karena sebuah pengetahuan yang disediakan? Tapi mengapa ujungnya aku merasa asing karena terlempar oleh serombongan ketidaktahuanku akanmu?
Dunia barumu yang sama sekali tak menyertakan aku. Dunia baru yang terlihat ramai saat namanya tak usai kau sebut-sebut.
Entah kebetulan memang sebenarnya ada, atau hanya aku yang sepertinya mengada-ada. Entah kisah tentang kita memang sedang dituliskan, ataukah semuanya hanya semata-mata harapan. Mungkin memang harus memberi waktu lebih bagi semesta, dengan rencananya yang selalu mengejutkan.Walau entah kejutannya akan membahagiakan, atau justru berupa tamparan pelan-pelan yang menyadarkan.
Mari tutup segala mungkin atau tidaknya. Sebab masih ada beberapa hal sederhana yang perlu disyukuri keberadaannya; kedekatan kita, misalnya.
Tidak apa-apa. Aku akan menyiapkan diri, bagi yang nanti berpatenkan nama sebagai penghuni hati. Janjiku yang nomor satu, untuk berhenti cinta mungkin aku belum bisa. Karena tak semudah itu menghilangkan rasa, hanya sembuhkan hati yang sedang kucoba-coba. Selamat istirahat pelukis merah merona pada pipi, selamat bekerja dua kali lipat dari biasanya plester hati.
menuju pertemuan
Kedua kaki sudah siap untuk melangkah pergi. Kubungkus ekspektasi dengan sangat rapi, hingga mereka tak akan bisa terbang yang terlalu tinggi. Degup resah yang akhir-akhir ini sempat tak terdengar lagi, perlahan tampak tanpa kendali. Entah apa yang akan semesta suguhkan; sebuah pertemuan atau hanya semburat kekecewaan.
Sabar, hati. Aku berujar pada pantulan cermin sendiri—seolah dengan mengucapnya mampu redakan dentuman debar.
Ada seorang anak kecil di dalam aku yang sudah tak sabar—seolah bertemu denganmu sama manisnya seperti gula-gula ukuran besar. Ada seorang dewasa di dalam aku yang tak henti mengingatkan—hati-hati, terkadang keinginan hanya mampu terwujud dalam khayalan.
Berharap kamu di seberang sana resah akibat rasa yang sama. Berharap kamu di seberang sana bertanya-tanya perihal ketidakpastian yang sama. Apakah kita bertemu memang untuk bersatu? Ataukah kita bertemu hanya agar luka mendapat jalannya yang baru?
Sepenuh hati aku mengumpulkan buruknya kemungkinan agar tak terbiasa dengan khayalan tanpa tanda-tanda kenyataan. Pada sepetak lantai di mana kita pernah menjejak, aku berharap di titik yang sama akan mendengar derap langkahmu semakin mendekat. Di selembar angan-angan kosong aku mengajari hati bagaimana caranya agar tidak perlu berdetak terlalu cepat. Tapi, tampaknya akan percuma. Sebab kamu saat ini sudah berada di depan mata. Tanpa mulut yang terbuka, lambaian tangan di udara, kita bertegur sapa secara maya. Tak apa semesta, aku sudah cukup bahagia.
Memang lebih baik berharap tak terlalu tinggi, agar ketika semesta memberi yang berlebih, yang muncul hanya bahagia di hati. Maka ketika mata menatap mata, ada yang jatuh tak terduga—hati kita. Rasa yang semula kukira saling menolak, kini ternyata saling memihak. Tak sia-sia setiap lafal doa. Sepertinya benar, pada pintu di dadamu, mereka melabuhkan asa.
Selamat bertemu, cinta..
telah berhenti
Selesai.
Satu kata yang kukira adalah akhir dari segala kita. Satu kata yang nyatanya memberi bukti bahwa masih ada yang mustahil usai; namanya kenangan.
Kenangan ialah sisa-sisa ingatan yang mengakar hingga dada, masih menganggap kamu di sana. Kenangan ialah samar-samar harum tubuhmu diembus udara, masih mengira kamu tak ke mana-mana. Kenangan ialah yang menyiksa aku; yang meminta aku terus menengok ke arah yang semula ada kamu. Kenangan begitu nakal. Ia mematenkan kaki-kakinya untuk berdiam di ingatanku kekal.
Mungkin ini sebuah hukuman dari kenangan. Karena dulu, air mata yang terjatuh dari pipimu selalu disebabkan oleh aku. Karena dulu, tawamu yang menyuarakan nada-nada bahagia sempat tertahan oleh keegoisanku. Karena dulu, kesalahan terfatalku adalah membiarkanmu berlalu. Hilang di makan waktu mencintai pria baru. Itu salahku, dan mungkin karma jadi makananku.
Sepayah itulah aku tak bisa menjaga ‘kita’. Sekuat itu pun juga kamu telah berusaha. Sampai hentakkan semesta menyadarkan bahwa kita tak bisa lagi seperti semula.
Terpejam mataku meninabobokan kesedihan, sementara menghindarkan aku dari kesesakkan. Namun nyatanya kedua mata yang terbuka di esok hari, menyadarkan bahwa kamu tidak lagi di sisi. Tinggi hati, kuhalangi air mata yang ingin mengalir melewati pipi. Meski secara sembunyi-sembunyi, baru aku berani mengakui bahwa aku masih mengharapkan kita untuk kembali.
Salahku, mengapa dulu tidak piawai dalam menggenggam. Salahku, mengapa dulu memilih untuk diam. Salahku, mengapa dulu seakan melepasmu pergi.
Sesal memang sesak. Yang tersisa hanya letup-letup kecewa namun tak mungkin membawaku ke pelukanmu yang semula.
Sebelum aku benar-benar selesai menghitung langkah mundur dan mulai berjalan ke hadapan, kuingin lihat senyummu untuk terakhir kali. Senyum yang tercipta karena aku, bukan karena lelaki yang kini di sampingmu. Bolehkah?
Semoga keputusanku untuk memutar arah dan melanjutkan langkah tak akan berubah. Meski di masa depan aku tak tahu akan terjadi apa, kuharap kamu sudah kurelakan sepenuhnya. Kuharap kelak aku hanya akan mengingatmu sebagai yang indah-indah saja.
Kamu masih tetap cantik. Kenangan tentangmu pun akan kujaga pada lemari memori, tertata antik. Kadang memang masih terasa sakit saat kedua telinga tak sengaja diperijinkan mendengar cerita tentangmu yang kini telah berdua. Tapi kuharap, sesal itu tak seperti rel yang mengiringi kemanapun roda-rodaku pergi. Aku ingin memindahkan perasaan ini pelan-pelan. Ke perempuan yang tepat tentunya.
Melalui kamu, aku tahu cara menjaga hati. Melalu kamu aku pun tahu bagaimana rasanya sebuah ‘penyesalan’. Jika telah datang nanti perempuan istimewaku, takkan kulakukan pengulangan perlakuan.
Kini langkah kaki dan logika sepemikiran ingin melaju ke depan. Sementara kamu, tetap indahlah dalam kenangan. Sebagai sesuatu yang selama ini sudah banyak memberikan pelajaran. Sedangkan aku, mencoba memulai kembali dari sepanjang perjalanan yang sudah terlewati.
Di penghujung jalan nanti, semoga tidak akan ada kesalahan kedua. Semoga tidak akan kuakhiri lagi segala usaha dan air mata dengan begitu sia-sia. Semoga tidak akan ada lagi senyuman manis yang menjadi korban. Sebab satu penyesalan lamban untuk lenyap, sedangkan seribu pengalaman tak akan juga cukup.
Jumat, 22 Februari 2013
TANAH DAN HUKUM TANAH
TINJAUAN PERSOALAN HUKUM PEMILIKAN TANAH (BEKAS ) EIGENDOM
PENDAHULUAN
Merdeka
sudah 63 tahun, namun persoalan tanah yang berkaitan hak kepemilikan
tanah dengan title hak barat seperti eigendom, opstal, erfpacht dll,
masih juga menimbulkan persoalan-persoalan baru dimasyarakat. Padahal
sejak tahun 1960 hak kepemilikan atas tanah tersebut ada yang telah
dihapus atau dikonversi dalam menjadi hak-hak pemilikan yang baru.
Dihapus karena hukum menentukan demikian, misalnya hak tersebut terkena
UU No. 1 tahun 1958, terkena nasionalisasi dst. UU No. 5 tahun 1960
tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria atau biasa disingkat UUPA (
undang-undang pokok agraria ) merupakan pegangan dan pedoman baru
pengaturan penguasaan dan pemilikan hak atas tanah setelah kita merdeka,
dan sekaligus mencabut ketentuan hukum sebelumnya yang mengatur tentang
hak-hak barat tersebut ( buku II BW yang berkaitan dengan tanah ).
Alasan politisnya sangat ekploitatif- feodalisme dan diskriminatif,
tidak sesuai dengan dasar falsafah dan kemerdekaan Indonesia. Filosofi
konversi hak oleh Negara adalah bentuk pengakuan Negara atas hak
keperdataan warga Negara dan kedua, pengaturan kembali hukum hak atas
tanah yang lama yang bersifat ekploitatif- diskriminatif, disesuaikan
dengan dasar-dasar hukum Indonesia yang berlandaskan pada hukum
(adat).
Dasar hukum pengaturan
tanah bekas hak barat diatur dalam UUPA, beserta beberapa peraturan
pelaksanaannya: PMA ( Peraturan Menteri Agraria )No. 2 tahun 1960, PMA
No. 13 tahun 1961, Keppres 32 tahun 1979 jo. PMDN No. 3 tahun 1979, PMDN
No. 6 tahun 1972, PMDN No. 5 tahun 1973 dan terakhir PMNA No. 9 tahun
1999.
Isu hukum yang hendak
disampaikan disini adalah khusus tentang prinsip dasar pengaturan
pemilikan tanah ( bekas ) hak eigendom sejak terbitnya UUPA tahun 1960
dan peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan hal tersebut.
Hak Eigendom
Hak
Eigendom atau lengkapnya disebut " eigendom recht" atau "right of
property" dapat diterjemahkan sebagai " hakmilik ", diatur dalam buku II
BW ( burgerlijke wetboek) atau KUHPerd (Kitab Undang-Undang HUkum
Perdata ). Hak eigendom ini dikontruksikan sebagai hak kepemilikan atas
tanah yang tertinggi diantara hak-hak kepemilikan yang lain. Hak
eigendom merupakan hak kepemilikan keperdataan atas tanah yang
terpenuh, tertinggi yang dapat dipunyai oleh seseorang. Terpenuh karena
penguasaan hak atas tanah tersebut bisa berlangsung selamanya, dapat
diteruskan atau diwariskan kepada anak cucu. Tertinggi karena hak atas
atas tanah ini tidak dibatasi jangka waktu, tidak seperti jenis hak atas
tanah yang lain, misalnya hak erfpacht ( usaha ) atau hak opstal (
bangunan ). ( lihat pasal 570 BW).
Pada
tahun 1960 semua jenis hak atas tanah termasuk hak eigendom bukan
dihapus namun di ubah atau dikonversi " convertion", conversie" menjadi
jenis-jenis hak atas tanah tertentu, dengan suatu persyaratan tertentu
yang harus dipenuhi. Misalnya, hak eigendom menjadi hak milik, hak
erfpacht menjadi hak guna usaha, hak opstal menjadi hak guna bangunan.
Pada tahun 1980 Hak atas tanah (bekas ) barat yang telah dikonversi
yang mempunyai jangka waktu serta yang tidak memenuhi syarat hapus, dan
tenahnya dikuasai oleh Negara " tanah Negara". Bagi mereka bekas
pemegang hak atas tanah diberi kesempatan untuk dapat mengajukan
permohonan hak atas tanah bekas haknya sepanjang tidak dipergunakan
untuk kepentingan umum atau jika tidak diduduki oleh masyarakat pada
umumnya.
Pengertian konversi ini
dalam hukum pada asasnya adalah merupakan perubahan atau penyesuaian
atau bisa dikatakan penggantian yang bertujuan untuk penyeragaman atau
unifikasi hukum. Dengan kata lain konversi ini bertujuan mengadakan
konstruksi ulang pengaturan hak atas tanah yang diatur oleh hukum
sebelumnya diubah disesuaikan dengan hukum yang baru. Hak eigendom yang
sebelumnya diatur oleh hukum perdata barat atau BW ( Burgelijke van
Wetboek ) termasuk disini hak atas tanah adat, sejak berlakunya UUPA,
diubah atau disesuaikan dengan undang-undang ini. Berdasarkan hukum
konversi hak atas tanah barat dan adat menjadi suatu hak atas tanah yang
baru terjadi karena hukum ( van rechtwege). Konversi karena hukum baru
akan terjadi apabila memenuhi suatu persyaratan tertentu dan dilakukan
dengan suatu tindakan hukum berupa suatu penetapan keputusan dari
pejabat yang berwenang yang berupa pernyataan penegasan ( deklaratur )
pernyataan penegasan ini untuk status hukum hak atas tanah dan jenisnya
dan terpenuhinya syarat bagi pemegang haknya. Misalnya hak eigendom
dikonversi menjadi hak milik. Artinya syarat untuk konversi eigendom
menjadi hak milik karena persyaratan subyek dan obyeknya terpenuhi.
Ada
beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam konversi hak eigendom
berkaitan antara hubungan hukum antara subyek dan obyek hukum yang
berakibat pada perubahan status hukum hak atas tanah:
Pertama,
hak eigendom dikonversi menurut hukum menjadi hak milik, apabila subyek
pemegang haknya adalah warga Negara Indonesia; Kedua, hak eigendom akan
dikonversi menjadi hak guna bangunan apabila pemegang haknya tidak
memenuhi syarat untuk dapat memperoleh hak milikmaka hak eigendom akan
dikonversi menjadi hak guna bangunan atau jenis hak yang lainnya;
Ketiga, hak eigendom menjadi tanah yang dikuasai Negara apabila pemegang
haknya dalam jangka waktu tertentu tidak mendaftarkan hak konversinya
kepada pejabat yang berwenang.
PENGATURAN HAK EIGENDOM
Prinsip
dasar yang harus dipegang oleh pemegang hak eigendom sejak tanggal 24
september 1960 (berlakunya UU No. 5 tahun 1960 ) hukumnya wajib
mendaftarkan hak konversinya, hal ini merupakan perintah undang-undang. (
lihat pasal I ketentuan konversi UUPA ). Apabila memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh undang-undang ( lihat pasal 21 UUPA) maka
berdasarkan ketentuan konversi sebagaimana yang diatur dalam pasal I
konversi UUPA sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali yang
mempunyainya tidak memenuhi syarat
Syarat
yang harus dipenuhi bagi para bekas pemegang hak eigendom yang ingin
dikonversi menjadi hak milik ( menurut UUPA ). Pada pokoknya secara
hukum mereka ini pada tanggal 24 september 1960, berstatus warga Negara
indonesia dan mempunyai tanda bukti kepemilikan berupa akta asli (
minuut ) atau salinan ( grosse ) eigendom ( lihat PMA No. 2 tahun 1960
). Luasan tanahnya tidak melebihi batas maksimum dan atau tidak absentee
( gontai ) ( lihat UU No. 56 tahun 1960 jo. PP No. 24 tahun 1961 ).
Selanjutnya jangka waktu pendaftarannya tidak melebihi batas waktu yang
ditentukan yakni 1 tahun sejak 24 september 1960. Bilamana syarat
tersebut dipenuhi maka pejabat administrasi yang berwenang dalam hal ini
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah ( KKPT ) pada waktu itu ( BPN setempat
saat ini ) akan mencatat / mendaftar penegasan konversi hak eigendom
tersebut dalam buku tanah dan dikeluarkan sertifikat hak milik atas nama
pemegang bekas hak eigendom tersebut. Tata cara mekanisme pencatatan
penegasan konversi pendaftaran ini lebih rinci diatur dalam PP (
peraturan Pemerintah ) No. 10 tahun 1961 yang selanjutnya diubah dan
diganti dengan PP No. 24 tahun 1997, sedang aturan pelaksanaannya diatur
dalam PMNA ( Peraturan Menteri Negara Agraria ) /KBPN ( Kepala Badan
Pertanahan Nasional ) No. 3 tahun 1997.
Namun
sebaliknya apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi maka hak
eigendom tersebut demi hukum berubah ( konversi ) menjadi hak guna
bangunan yang berlangsung selama 20 tahun. Selanjutnya hak tersebut
hapus, sedangkan tanah tersebut berubah status hukumnya menjadi tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau biasa disebut dengan tanah
Negara ( lihat Keppres ( keputusan presidan ) No. 32 tahun 1979). Dalam
posisi demikian hubungan hukum antara pemilik ( selanjutnya disebut
sebagai bekas pemegang hak ) dengan tanahnya terputus. Namun demikian
bekas pemegang hak masih mempunyai hubungan keperdataan dengan
benda-benda lain diatasnya, misalnya tanaman, bangunan yang berdiri
diatas tanah tersebut.
Pertanyaan hukumnya adalah apakah bekas pemegang hak masih dimungkin memperoleh hak atas tanah yang dikuasai Negara tersebut?
Prinsip
dasar, pertama, Hukum mengatur bahwa sejak tahun 1980 seluruh hak-hak
barat sudah tidak ada lagi ( karena konversi ) atau hapus yang ada
adalah tanah Negara bekas hak barat. Berdasarkan ketentuan hukum, ada 3
prioritas yang wajib diperhatikan: pertama, kepentingan umum; kedua,
kepentingan bekas pemegang hak, dan; ketiga mereka yang penduduki /
memanfaatkan tanah dengan etiket baik dan tidak mempunyai hubungan hukum
dengan bekas pemegang hak. Kedua, adanya kompensasi terhadap benda2
diatas tanah Negara bekas hak barat tersebut. Artinya siapapun yang
menginginkan hak atas tanah Negara tersebut harus memberikan konpensasi
kepada bekas pemegang haknya
Pertama,
prioritasnya ada pada Negara adalah dipergunakan atau dimanfaatkan
untuk kepentingan umum atau Negara. Kepentingan umum atau Negara ini
perlu penjabaran lebih lanjut. Apakah criteria kepentingan umum atau
Negara. Apabila dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan Negara /
umum maka tertutuplah kemungkinan bekas pemegang hak dan masyarakat
yang menduduki untuk memperoleh hak atas tanah tersebut. Namun demikian
Negara akan memberikan kompensasi baik bekas pemegang haknya maupun
masyarakat yang pernah menguasai atau mendudukinya.
Kedua,
Apabila tanah Negara tersebut tidak dipergunakankan atau dimanfaatkan
untuk kepentingan umum dan tidak ada pendudukan oleh masyarakat maka
bekas pemegang hak mendapatkan prioritas memperoleh kembali dengan jalan
mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut. Dengan catatan apabila
di atas tanah tersebut ada pendudukan masyarakat maka harus ada
kompensasinya untuk mereka.
Ketiga,
prioritas diberikan kepada masyarakat yang menguasai atau menduduki
tanah Negara bekas hak barat tersebut. Apabila bekas hak barat tersebut
berupa pekarangan atau lahan tanpa bangunan maka tidak ada kewajiban
bagi mereka memberikan kompensasi kepada bekas pemegang hak.
Persoalan
hukum yang sering timbul adalah tuntutan mereka menguasai hak eigendom
tersebut sebelum tahun 1960 yang diperoleh dari peralihan hak misalnya
jual beli, hibah, warisan dll. Disini yang harus diperhatikan adalah
apakah tanah eigendom tersebut terkena undang-undang No. 1 tahun 1958,
atau terkena undang-undang nasionalisasi dan apakah proses peralihan
haknya pada waktu itu sudah memenuhi persyaratan perijinan yang harus
dipenuhi.
KESIMPULAN
Tanah
– tanah Negara ( bekas) eigendom pada prinsipnya dapat dimohonkan
sesuatu hak atas tanah oleh siapapun juga, sepanjang tanah tersebut
tidak dipergunakan atau dimanfaatkan untuk Negara atau kepentingan umum.
Permohonan hak atas tanah Negara bekas eigendom tidak didasarkan pada
riwayat kepemilikan seperti warisan hanya petunjuk bukan satu-satunya
pedoman dalam rangka pengajuan. Hubungan hukum hak keperdataan bekas
pemegang hak hanyalah berkaitan dengan benda-benda yang ada diatas tanah
bukan tanahnya. Status tanahnya adalah " tanah Negara" ( tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara ).
Eigendom, Erfpacht, Opstal
Masalah
Eigendom verponding yang sering diucapkan oleh sementara orang,baik itu
awam atau orang instansi berdasarkan pengalaman kerja kami yang sekian
lama,pada dasarnya mereka kurang mengerti arti inti hukum dari istilah itu apa lagi dengan kekuatan berdirinya Departemen Hukum Dan Hak Asasasi Manusia kini.
Di bawah ini kami
ingin memberikan keterangan inti dari arti dan status hak kepemilikan
tanah dan bangunan Eigendom dalam scope umum;
1 .Dalam bahasa Belanda “ Eigendom” berarti sebagai suatu hak pemilikan tetap terhadap suatu aset tanah atau bangunan, biasanya di daftar Letter C.
2.Verponding adalah surat nomor tagihan pajak atas tanah /bangunan yang dimaksudkan.
3.Istilah
Verponding ini kemudian diganti dengan Surat Pajak Hasil Bumi dan
Bangunan yang sekarang kita kenal dengan nama SPPT PBB.
4.Istilah Eigendom
atas tanah/bangunan hanyalah suatu istilah nama yang mana karena
kurangnya penegasan pengetahuan umum bahasa dan hukum sering dipastikan
milik Belanda/asing non Belanda.
5. Kalau kita –kita
paham sekali,lalu bagaimana menyikapi masalah penyerobotan tanah
Eigendom dimana pemiliknya adalah jelas-jelas WNI? Kita bisa mengambil
contoh kasus Tanah Eigendom milik pejuang bangsa kita Alm Dr Soetama. Beliau semula memiliki tanah Eigendom seluas 7 Ha. Namun pada akhirnya hanya bersisa 2.400 M2 saja.
Ada pula
tanah/bangunan Eigendom milik Alm R. Surya Gondo Kusuma (mantan Gubernur
Jateng) yang begitu saja diduduki instansi Dinas Pembibitan
Dep.Pertanian. Karena dikategorikan tanah bangunan milik Belanda, ahli
waris pemilk hanya bisa gigit jari.
Ini kami paparkan
karena kami adalah orang lapangan yang sehari-hari bergelut dengan
masalah tersebut yang beraneka ragam bentuknya terhadap/pada setiap
obyek.
6. Jadi pemilik-pemilik tanah bangunan Eigendom bisa saja;
a. pemilik awal dahulu adalah orang asing yang berwarga negara RI di zaman Belanda.
b. ahli waris orang tersebut yang WNI ,karena ahli waris itu seorang pribumi ( Nyai-
nyai ) apa lagi anak-anaknya. Dari pisahnya ikatan pernikahan setelah suami
meninggal dunia maka status istri /ahli waris kembali menjadi pribumi.
nyai ) apa lagi anak-anaknya. Dari pisahnya ikatan pernikahan setelah suami
meninggal dunia maka status istri /ahli waris kembali menjadi pribumi.
c. orang-orang WNI dan pribumi bangsa kita yang kebanyakan ekonominya lemah
hingga tidak mampu melaksanakan konversi/pendaftaran ulang seperti kesempatan
dari negara tahun 1964 dan 1974.
hingga tidak mampu melaksanakan konversi/pendaftaran ulang seperti kesempatan
dari negara tahun 1964 dan 1974.
Permasalahan yang
sering terjadi di lingkungan perkotaan adalah: 90 % terjadi okupasi
(pendudukan) terhadap tanah-tanah tersebut. Okupasi tersebut dilakukan
baik oleh instansi maupun perorangan, yang terkadang bahkan dilakukan
atas dasar rekomendasi dari P3MB. Hal ini sangat kuat dan secara tidak
tertulis diakui oleh semua pihak. Sebab pada saat itu Presiden
menyatakan bahwa negara dalam keadaan “Darurat Perang” ( sepanjang ingatan kami, hal ini terjadi waktu kasus Irian Barat).
Sejak dari sinilah timbul kerancuan-kerancuan mengenai pemilikan atas tanah-
tanah tersebut. Timbulnya salah pengertian mengenai Eigendom tersebut adalah
identik dengan Belanda. Dengan bukti dasar semu sejak pendudukan Jepang, Belanda-
(bahkan bangsa kita yang berpostur mirip Belanda-Arab) lari meninggalkan tanah dan
rumahnya mengungsi sampai keluar negeri. Sehingga mulai saat itu kalau ada rumah
kosong dipastikan milik orang Belanda atau mirip Belanda. Mereka semua lari
mengungsi karena takut dibantai oleh Jepang.
tanah tersebut. Timbulnya salah pengertian mengenai Eigendom tersebut adalah
identik dengan Belanda. Dengan bukti dasar semu sejak pendudukan Jepang, Belanda-
(bahkan bangsa kita yang berpostur mirip Belanda-Arab) lari meninggalkan tanah dan
rumahnya mengungsi sampai keluar negeri. Sehingga mulai saat itu kalau ada rumah
kosong dipastikan milik orang Belanda atau mirip Belanda. Mereka semua lari
mengungsi karena takut dibantai oleh Jepang.
Sebagai lanjutan
dari uraian keterangan kami tersebut di atas, sebenarnya banyak sekali
contoh bukti kasus Eigendom dan sejenisnyayang kami tangani. Ada yang
selesai dengan posisi ahli waris babak belur dan harus mau terima apa
adanya.Terutama tanah /bangunan yang dikuasai TNI/POLRI.
Semua ulasan ini kami sumbangkan kepada Bapak Joyo Winoto sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) guna bantuan menyikapi penataan sistem koordinasi
antar instansi dan badan hukum legal dan sosialisasi kepada lurah-lurah
/Kepala Desa karena 99% keruwetan mulai timbul dari level ini.
Mohon perhatian
bahwa di Kantor-kantor Kelurahan/Kepala Desa, sering kita temui bahwa
Buku Letter C tidak ada. Dengan alasan dibawa oleh Lurah/Kepala Desa
terdahulu dan (dinyatakan ) hilang. Inilah sumber dari gelapnya situasi
dan kondisi. Menurut peraturan Undang-Undang Kepegawaian Negeri bukankah
menghilangkan buku Letter C yang merupakan panduan kepemilikan utama
dapat dikenakan berbagai sanksi, yang bahkan sampai dengan Pidana? Hal
ini mohon benar-benar disikapi tegas.
Demikian ulasan
kami semoga bisa membanntu kebijakan Reforma Agraria. Dengan point
memediasi representasi legal menekan Opportunity lost ketitik nol dan
obsesi 1000 Trilliun Rupiah masuk ke Sistem Ekonomi dan Politik di
Indonesia.
Minggu, 17 Februari 2013
CARA MENGETAHUI WETON BERDASAR TANGGAL LAHIR
Rahasia Perhitungan Hari Jawa
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa dalam peradaban "JAWA" banyak kita jumpai
aturan-aturan yang bersifat mengikat. Hal ini karena aturan-aturan
tersebut merupakan wawasan dari nenek moyang kita yang sudah turun
temurun diyakini dan disosialisasikan dalam kehidupan bermasyarakat
khususnya dilingkungan masyarakat suku Jawa. Wawasan nenek moyang
tersebut dalam kehidupan bermasyarakat disebut dalam istilah " ILMU
TITEN". Mengapa disebut demikian ? Hal ini karena aturan-aturan
tersebut berdasarkan pengalaman dan pengamatan terhadap hal-hal yang
terjadi pada perubahan alam yang dikaitkan dengan kejadian yang berlaku
dalam kehidupan mereka saat itu.
Salah satunya adalah perhitungan hari dalam menentukan perjodohan, membangun rumah atau neptu/ weton dari kelahiran seseorang. Saya mengajak para generasi muda, khususnya generasi-generasi suku jawa untuk mengingat kembali sekaligus melestarikan budaya Jawa agar pengetahuan terhadap budaya tersebut tidak hilang begitu saja terlindas oleh kemajuan teknologi yang berkembang dengan pesat saat ini. Jangan sampai kita sebagai generasi muda dikatakan tidak pecus atau apatis untuk tidak dapat melestarikan budaya kita sendiri, terlebih kita hidup di pulau Jawa.
Pada kesempatan ini saya mencoba mengulas kembali bagaimana orang tua kita menghitung Neptu/ Weton hari lahir sebagai acuan untuk menentukan baik buruknya suatu rencana yang akan kita laksanakan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa hari lahir ( weton ) adalah merupakan awal dari manusia dalam kehidupannya di dunia ini, sangat diperlukan sekali bagi kita untuk mengetahui "Hari Lahir (Weton) " kita masing-masing. Sebagian besar suku Jawa menyakini bahwa merahasiakan hari lahir ( weton ) itu sangat penting, karena dengan diketahuinya hari lahir/ weton seseorang akan mudah bagi orang lain untuk berbuat hal-hal yang bersifat negatif, salah satunya santet atau teluh. Terlepas dari itu semua, tergantung pada keyakinan kita masing-masing.
Untuk menghitung Neptu hari lahir ( weton ) berikut Pasarannya ada pedoman/ patokan angka yang digunakan oleh masyarakat orang jawa, berikut table hari, pasaran dan neptu seperti dibawah ini :
Salah satunya adalah perhitungan hari dalam menentukan perjodohan, membangun rumah atau neptu/ weton dari kelahiran seseorang. Saya mengajak para generasi muda, khususnya generasi-generasi suku jawa untuk mengingat kembali sekaligus melestarikan budaya Jawa agar pengetahuan terhadap budaya tersebut tidak hilang begitu saja terlindas oleh kemajuan teknologi yang berkembang dengan pesat saat ini. Jangan sampai kita sebagai generasi muda dikatakan tidak pecus atau apatis untuk tidak dapat melestarikan budaya kita sendiri, terlebih kita hidup di pulau Jawa.
Pada kesempatan ini saya mencoba mengulas kembali bagaimana orang tua kita menghitung Neptu/ Weton hari lahir sebagai acuan untuk menentukan baik buruknya suatu rencana yang akan kita laksanakan. Sebagaimana kita ketahui, bahwa hari lahir ( weton ) adalah merupakan awal dari manusia dalam kehidupannya di dunia ini, sangat diperlukan sekali bagi kita untuk mengetahui "Hari Lahir (Weton) " kita masing-masing. Sebagian besar suku Jawa menyakini bahwa merahasiakan hari lahir ( weton ) itu sangat penting, karena dengan diketahuinya hari lahir/ weton seseorang akan mudah bagi orang lain untuk berbuat hal-hal yang bersifat negatif, salah satunya santet atau teluh. Terlepas dari itu semua, tergantung pada keyakinan kita masing-masing.
Untuk menghitung Neptu hari lahir ( weton ) berikut Pasarannya ada pedoman/ patokan angka yang digunakan oleh masyarakat orang jawa, berikut table hari, pasaran dan neptu seperti dibawah ini :
Dari pedoman/ patokan neptu hari dan pasaran di atas, dapat disusun suatu matrik/ tabel yang mana kita dapat mengetahui jumlah neptu hari lahir kita. Tabel perhitungan hari dan pasaran sebagai berikut :
Cara penggunaan tabel adalah sebagai berikut : Misalnya kita lahir pada hari Minggu Kliwon, untuk mengethui berapa jumlah neptu kita maka kita lihat pada hari Minggu yang neptunya 5, kemudian kita tari ke arah pasaran Kliwon yang neptunya 8. Langkah berikutnya kita jumlahkan kedua neptunya sebagi berikut : 5 + 8 = 13, jadi jumlah neptu untuk Minggu Kliwon adalah 13.
Bagi rekan-rekan yang tidak mengetahui hari lahirnya dapat dicari dengan menggunakan tabel berikut :
Penggunaan kedua tabel diatas adalah sebagai berikut :
Tentunya kita ingin mengetahui Neptu atau pasaran dari tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jum'at dengan Neptu apa? Berikut tabel untuk mengetahui Neptu/ Pasaran :
Cara mengetahui Neptu/ Pasaran suatu Tanggal kelahiran dengan menggunakan tabel di atas adalah sebagai berikut :
Kita gunakan Contoh diatas yaitu tanggal 17 Agustus 1945 yang mana
kita sudah mengetahui bahwa tanggal tersebut jatuh pada hari Jum'at.
Disini kita tinggal mencari Neptu/ pasaran dari tanggal tersebut.
Kita cari angka 45 pada tabel "Tahun" kemudian kita tarik garis
lurus ke kanan sampai pada bulan Agustus yang didapatkan angka "1".
Demikian cara-cara mengetahui perhitungan hari lahir yang merupakan moment penting bagi kita. Semoga bermanfaat khususnya bagi generasi muda sebagai wujud peduli kita untuk melestarikan budaya yang ada.
Senin, 28 Januari 2013
Kampanye Dini Calon Presiden
Kampanye Dini Calon Presiden
PERMASALAHAN DAN SOLUSI PEMILUKADA
I. PENDAHULUAN
Sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wilayah kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi lagi atas daerah kabupaten dan kota, yang masing-masing sebagai daerah otonomi. Sebagai daerah otonomi, daerah provinsi, kabupaten/kota memiliki pemerintahan daerah yang melaksanakan, fungsi-fungsi pemerintahan daerah, yakni Pemerintahan Daerah dan DPRD. Kepala Daerah adalah Kepala Pemerintahan Daerah baik didaerah provinsi, maupun kabupaten/kota yang merupakan lembaga eksekutif di daerah, sedangkan DPRD, merupakan lembaga legislatif di daerah baik di provinsi, maupun kabupaten/kota. Kedua-duanya dinyatakan sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan di daerah (Pasal 40 UU No. 32/2004) .
Sejalan dengan semangat desentralisasi, sejak tahun 2005 Pemilu Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung (Pemilukada/Pilkada). Semangat dilaksanakannya pilkada adalah koreksi terhadap system demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Melalui pilkada, masyarakat sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara, dalam memilih kepala daerah.
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah diterapkan prinsip demokrasi. Sesuai dengan pasal 18 ayat 4 UUD 1945, kepala daerah dipilih secara demokratis. Dalam UU NO.32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat, yang diajukan oleh partai politik atau gabungan parpol. Sedangkan didalam perubahan UU No.32 Tahun 2004, yakni UU No.12 Tahun 2008, Pasal 59 ayat 1b, calon kepala daerah dapat juga diajukan dari calon perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Secara ideal tujuan dari dilakukannya pilkada adalah untuk mempercepat konsolidasi demokrasi di Republik ini. Selain itu juga untuk mempercepat terjadinya good governance karena rakyat bisa terlibat langsung dalam proses pembuatan kebijakan. Hal ini merupakan salah satu bukti dari telah berjalannya program desentralisasi. Daerah telah memiliki otonomi untuk mengatur dirinya sendiri , bahkan otonomi ini telah sampai pada taraf otonomi individu .
Selain semangat tersebut, sejumlah argumentasi dan asumsi yang memperkuat pentingnya pilkada adalah: Pertama, dengan Pilkada dimungkinkan untuk mendapatkan kepala daerah yang memiliki kualitas dan akuntabilitas. Kedua, Pilkada perlu dilakukan untuk menciptakan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan di tingkat lokal. Ketiga, dengan Pilkada terbuka kemungkinan untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional karena makin terbuka peluang bagi munculnya pemimpin-pemimpin nasional yang berasal dari bawah dan/atau daerah.
Sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004, mengenai Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, telah banyak menimbulkan persoalan, diantaranya waktu yang sangat panjang, sehingga sangat menguras tenaga dan pikiran, belum lagi biaya yang begitu besar , baik dari segi politik (issue perpecahan internal parpol, issue tentang money politik, issue kecurangan dalam bentuk penggelembungan suara yang melibatkan instansi resmi) , social (issue tentang disintegrasi social walaupun sementara, black campaign dll.) maupun financial. Hal ini kita lihat pada waktu pemilihan kepala daerah di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan dan Jawa Timur. Di Sulsel, pemilihan gubernur langsung diselenggarakan sebanyak dua putaran karena ketidakpuasan salah satu calon atas hasil penghitungan suara akhir.
Masalah pemenangan Pilkada mengandung latar belakang multidimensional. Ada yang bermotif harga diri pribadi (adu popularitas); Ada pula yang bermotif mengejar kekuasaan dan kehormatan; Terkait juga kehormatan Parpol pengusung; Harga diri Ketua Partai Daerah yang sering memaksakan diri untuk maju. Di samping tentu saja ada yang mempunyai niat luhur untuk memajukan daerah, sebagai putra daerah. Dalam kerangka motif kekuasaan bisa difahami, karena “politics is the struggle over allocation of values in society”.(Politik merupakan perjuangan untuk memperoleh alokasi kekuasan di dalam masyarakat). Pemenangan perjuangan politik seperti pemilu legislative atau pilkada eksekutif sangat penting untuk mendominasi fungsi-fungsi legislasi, pengawasan budget dan kebijakan dalam proses pemerintahan (the process of government) . Dalam kerangka ini cara-cara “lobbying, pressure, threat, batgaining and compromise” seringkali terkandung di dalamnya. Namun dalam Undang-undang tentang Partai Poltik UU No. 2/2008, yang telah dirubah dengan UU No.2 Tahun 2011, selalu dimunculkan persoalan budaya dan etika politik. Masalah lainnya sistem perekrutan calon KDH (Bupati, Wali kota, Gubernur) bersifat transaksional, dan hanya orang-orang yang mempunyai modal financial besar, serta popularitas tinggi, yang dilirik oleh partai politik, serta beban biaya yang sangat besar untuk memenangkan pilkada/pemilukada, akibatnya tidak dapat dielakan maraknya korupsi di daerah, untuk mengembalikan modal politik sang calon,serta banyak Perda-Perda yang bermasalah,dan memberatkan masyarakat dan iklim investasi.
II. PERMASALAHAN PILKADA DAN ISU-ISU PILKADA
1. Daftar Pemilih tidak akurat;
a. Sebagian besar DP4 dari Kab/Kota tidak dapat diandalkan
b. Calon pemilih banyak yang memiliki domisili lebih dari satu tempat
c. Calon pemilih dan Parpol bersikap pasif dalam menyikapi DPS
d. Pelibatan RT/RW dalam pemutakhiran data pemilih tidak maksimal
e. Para pihak baru peduli atas kekurang-akuratan data pemilih ketika sudah ditetapkan sebagai daftar pemilih tetap atau ketika sudah mendekati hari pemungutan suara
f. Kontrol Panwaslu untuk akurasi data pemilih tidak maksimal.
a. Munculnya dualisme pencalonan dalam tubuh partai politik.
b. Perseteruan antar kubu calon yang berasal dari partai yang sama.
c. KPU tidak netral dalam menetapkan pasangan calon.
d. Tidak ada ruang untuk mengajukan keberatan dari pasangan calon/Parpol terhadap penetapan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU.
e. Terhambatnya proses penetapan pasangan calon.
f. Dalam hal terjadi konflik internal Parpol, KPU berpihak kepada salah satu pasangan calon/pengurus parpol tertentu sehingga parpol yang sebenarnya memenuhi syarat namun gagal mengajukan pasangan calon. Akibat lebih lanjut, partai politik maupun konstituen kehilangan kesempatan untuk mendapatkan kepala daerah yang merupakan preferensi mereka.
a. Pelanggaran ketentuan masa cuti
b. Manuver politik incumbent untuk menjegal lawan politik
c. Care taker yang memanfaatkan posisi untuk memenangkan PILKADA
d. Money politics
e. Pemanfaatan fasilitas negara dan pemobilisasian birokrasi
f. Kampanye negative
g. Pelanggaran etika dalam kampanye
h. Curi start kampanye, kampanye terselubung, dan kampanye di luar waktu yang telah ditetapkan
4. Manipulasi dalam penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan:
a. Belum terwujudnya transparansi mengenai hasil penghitungan suara dan rekapitulasi penghitungan suara.
b. Manipulasi penghitungan dan rekapitulasi penghitungan suara dilakukan oleh PPK, KPU Kab/kota, dan KPU Provinsi.
c. Belum lengkapnya instrument untuk mengontrol akuntabilitas PPK, KPU Kabupaten/Kota, dan KPU Provinsi.
d. Keterbatasan saksi-saksi yang dimiliki oleh para pasangan calon.
e. Keterbatasan anggota Panwas mengontrol hasil penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
5. Penyelenggara Pilkada tidak adil dan netral
a. Keberpihakan anggota KPUD dan jajarannya kepada salah satu pasangan calon.
b. Kewenangan KPUD yang besar dalam menentukan pasangan calon.
c. Tidak adanya ruang bagi para bakal calon untuk menguji kebenaran hasil penelitian administrasi persyaratan calon.
d. Pengambilalihan penyelenggaraan sebagian tahapan Pilkada oleh KPU di atasnya.
e. Keberpihakan anggota Panwaslu kepada salah satu pasangan calon
f. Anggota Panwasal menjadi pembela/promotor bagi pasangan calon yang kalah.
7. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008.
8. Penyesuaian tata cara pemungutan suara dan penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
11. Sistem pemilihan gubernur.
12. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
III. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
1. Daftar Pemilih tidak akurat.
Permasalahan daftar pemilih yang tidak akurat dalam Pilkada, sering dijadikan oleh para pasangan calon yang kalah untuk melakukan gugatan.
Berdasar Pasal 47 UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa PPS mempunyai tugas dan wewenang antara lain mengangkat petugas pemutakhiran data pemilih dan membantu KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK melakukan pemutakhiran data pemilih, daftar pemilih sementara, daftar pemilih hasil perbaikan, dan daftar pemilih tetap. Melalui pengaturan ini jika dalam pemutakhiran data pemilih, melibatkan RT/RW sebagai petugas pemutakhiran, maka permasalahan data pemilih yang tidak akurat akan dapat diminimalisir, karena RT/RW adalah lembaga yang paling mengetahui penduduknya.
2. Proses pencalonan yang bermasalah
Permasalahan dalam pencalonan yang selama ini terjadi disebabkan oleh 2 (dua) hal yaitu konflik internal partai politik/gabungan partai politik dan keberpihakan para anggota KPUD dalam menentukan pasangan calon yang akan mengikuti Pilkada.
Secara yuridis pengaturan mengenai pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dari beberapa pasal tersebut memberikan kewenangan yang sangat besar kepada KPUD dalam menerima pendaftaran, meneliti keabsahan persyaratan pencalonan dan menetapkan pasangan calon, yang walaupun ada ruang bagi partai politik atau pasangan calon untuk memperbaiki kekurangan dalam persyaratan adminitrasi, namun dalam praktek beberapa kali terjadi pada saat penetapan pasangan calon yang dirugikan.
Pasal 59 ayat (5) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa partai politik atau gabungan partai politik pada saat mendaftarkan pasangan calon, wajib menyerahkan surat pencalonan yang ditandatangani oleh pimpinan partai politik atau pimpinan partai politik yang bergabung. Dalam tahapan ini kadang terjadi permasalahan di internal partai politik, ketika calon yang diajukan oleh pimpinan partai politik setempat berbeda dengan calon yang direkomendasikan oleh DPP partai politik. Dalam permasalahan ini karena pimpinan partai politik setempat tidak melaksanakan rekomendasi DPP partai politik,kemudian diberhentikan sebagai pimpinan partai politik di wilayahnya dan menunjuk pelaksana tugas pimpinan partai politik sesuai wilayahnya yang kemudian juga meneruskan rekomendasi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah namun ditolak KPUD dengan alasan partai politik tersebut melalui pimpinan wilayahnya yang lama telah mengajukan pasangan calon. Pasal 61 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan bahwa penetapan dan pengumuman pasangan calon oleh KPUD bersifat final dan mengikat. Dalam hal KPUD tidak netral, ketentuan ini kadang disalahgunakan untuk menggugurkan pasangan calon tertentu tanpa dapat melakukan pembelaan, karena tidak ada ruang bagi pasangan calon yang dirugikan untuk melakukan pengujian atas tindakan KPUD yang tidak netral melalui pengadilan.
Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan perlu pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3. Pemasalahan pada Masa kampanye.
Pengaturan mengenai kampanye secara yuridis diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu meliputi pengaturan mengenai teknis kampanye, waktu pelaksanaan, pelaksana kampanye, jadwal kampanye, bentuk dan media kampanye, dan larangan-larangan selama pelaksanaan kampanye. Kandidat dan tim kampanyenya cenderung mencari celah pelanggaran yang menguntungkan dirinya.
Pasal 75 ayat (2) berbunyi dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum hari pemungutan suara", dengan terbatasnya waktu untuk kampanye maka sering terjadi curi start kampanye dan kampanye diluar waktu yang telah ditetapkan.
Kampanye yang diharapkan dapat mendorong dan memperkuat pengenalan pemilih terhadap calon kepala daerah agar pemilih mendapatkan informasi yang lengkap tentang semua calon, menjadi tidak tercapai. Untuk itu ke depan perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
4. Manipulasi penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Manipulasi perhitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara dapat terjadi di setiap tingkatan, yaitu di KPPS, PPK, KPU Kabupaten, dan KPU Provinsi.
Permasalahan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara akan manipulasi, disebabkan oleh banyaknya TPS yang tersebar dalam wilayah yang luas. Dengan banyaknya TPS yang tersebar luas membuat para pasangan calon sulit mengontrolnya karena memerlukan saksi yang banyak dan biaya besar. Di lain pihak para penyelenggara Pilkada di beberapa daerah tidak netral, berhubung sistem seleksi anggota KPUD tidak belum memadai.
5. Penyelenggara Pemilu yang tidak adil dan netral
a. KPU dan KPU Provinsi
Keberpihakan KPU atau KPU Provinsi kepada salah satu pasangan calon dilakukan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten dengan memberhentikan atau membekukan para anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten. Padahal pengambil-alihan baru dapat dilakukan jika KPU dibawahnya tidak dapat melaksanakan tahapan Pilkada.
b. KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota
Keberpihakan KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota kepada salah satu pasangan calon dilakukan pada tahapan proses pencalonan, penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
c. Panwaslu.
Keberpihakan Panwaslu kepada salah satu pasangan calon dilakukan khususnya pada tahapan setelah hasil penghitungan suara, dengan menjadi promoter bagi pasangan yang kalah.
Akibatnya pelaksanaan Pilkada menjadi ruwet, terjadi ketegangan di tingkat grass root dan bahkan kadang sampai menimbulkan kerusuhan.
Hal terjadi karena kurangnya pemahaman para anggota KPU, KPUD, dan Panwaslu dalam melaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta sistem seleksi para anggota KPU, KPUD, Panwaslu belum mengetengahkan adanya kebutuhan anggota KPU, KPUD, Panwaslu yang obyektif, netral, mempunyai integritas tinggi, tidak mudah mengeluarkan statement, dan memiliki pemahaman yang baik terhadap ketentuan peraturan perundang-undang Pemilu.
6. Putusan MA atau MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Sengketa Pilkada diatur dalam pasal pasal 106 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang pada intinya menyatakan bahwa sengketa hasil penghitungan suara dapat diajukan oleh pasangan calon kepada pengadilan tinggi untuk pilkda bupati/walikota dan kepada MA untuk pilkda Gubernur. Putusan yang dikeluarkan pengadilan tinggi/Mahkamah Agung bersifat final. Setelah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan penyelesaian sengketa pilkada beralih dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.
Baik dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahuri 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 kewenangan pengadilan untuk mengadili sengketa Pilkada hanya terbatas pada sengketa hasil yang mempengaruhi pemenang Pilkada, permasalahannya adalah bagaimana apabila terjadi sengketa di luar hasil penghitungan suara, selain itu beberapa putusan baik Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi menimbulkan kontroversi di masyarakat, akibatnya penyelesaian Pilkada berlarut-larut.
Selama ini tidak hanya sengketa hasil penghitungan suara yang terjadi dalam Pilkada, seperti permasalahan DPT, permasalahan pencalonan baik terjadinya permasalahan di internal partai politik maupun pemenuhan persyaratan Pilkada.
Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 sudah membatasi kewenangan pengadilan hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan Pilkada.
a. Putusan MK No.072-073/PUU-ii/2005 menyatakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004:
Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
Dalam pertlmbangan hukumnya, mahkamah berpendapat bahwa Pilkada langsung tidak termasuk dalam kategori pemilu sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 namun Pilkada langsung adalah pemilu secara materiil untuk mengimplementasikan pasal 18 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945 karena itu dalam penyelenggaraannya dapat berbeda dengan pemilu yang diatur pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945, misalnya dalam hal regulator, penyelenggara dan badan yang menyelesaikan perselisihan hasil pilkada meskipun tetap didasarkan asas pemilu yang berlaku. Pembentuk Undang-Undang No 32 Tahun 2004 telah menetapkan KPUD sebagai penyelenggara Pilkada yang merupakan wewenang pembentuk undang-undang yang terpenting adalah harus dijamin independensinya, terganggunya independensi penyelenggara mengakibatkan bertentangan dengan kepastian, perlakuan yang sama dan keadilan sesuai pasal 28D UUD Negara RI Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat bahwa pembentuk undang-undang dapat dan memang sebaiknya pada masa yang akan datang menetapkan KPU sebagaimana dimaksud pasal 22E UUD Negara RI Tahun 1945 sebagai penyelenggara pilkada karena memang dibentuk untuk itu dan telah membuktikan independensinya dalam pemilu 2004.
b. Putusan MK Nomor No.22/PUU-VII/2009
menyatakan bahwa pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun dalam
salah amar putusannya juga menyatakan bahwa masa jabatan yang dihitung
satu periode adalah masa jabatan yang telah dijalani selama setengah
atau lebih masa jabatan, dengan kata lain dihitung satu kali masa
jabatan adalah apabila seorang kepala daerah telah menduduki jabatannya
selama 2,5 tahun atau lebih.
Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.
Penghitungan masa jabatan ini tidak dibatasi apakah karena pilkada langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 atau pilkada tidak langsung berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, karena dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbedaan sistem pemilihan kepala daerah antara langsung dan tidak langsung, tidak berarti bahwa sistem Pilkada tidak langsung tidak atau kurang demokratis apabila dibandingkan dengan sistem langsung demikian pula sebaliknya. Dari pertimbangan majejelis ini berarti bahwa menurut majelis, Pilkada langsung maupun pilkada tidak langsung sama-sam demokratishya sebagaimana dimaksud pasal 18 ayat (4) UUDN 1945. Bahkan majelis berpendapat setelah pengalaman dalam pilkada langsung berdasar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, sekarang timbul gagasan baru untuk kembali memberlakukan pilkada tidak langsung, dan hal ini sah-sah saja.
Perubahan pengertian norma hukum pasal 58 huruf o UU No 32 Tahun 2004 yaitu batasannya adalah 2, 5 (dua setengah) tahun, artinya apabila Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah menduduki masa jabatannya kurang dari 2,5 (dua setengah tahun, belum dianggap satu kali masa jabatan sehingga masih bisa mencalonkan selama 2 (dua) periode sehingga apabila selama 2 (dua) kali masa pencalonannya selalu terpilih, yang bersangkutan bisa menduduki jabatannya maksimal 12, 4 (dua belas koma empat) tahun beberapa hari.
a. Penyesuaian tata cara pemungutan suara.
Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian suara ini telah mulai memasyarakat, sehingga agar tidak membingungkan masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara pemberian suara perlu diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
Berdasar Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "pemberian suara untuk Pilkada dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan calon dalam surat suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Perhllu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 melalui peraturan KPU pemberian suara dilakukan dengan memberi tanda "centang". Walaupun cara pemberian suara dalam Pemilu 2009 dengan memberi tanda centang masih banyak yang salah sehingga suara tidak sah, namun cara pemberian suara ini telah mulai memasyarakat, sehingga agar tidak membingungkan masyarakat, maka ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan cara pemberian suara perlu diselaraskan dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
b. Penyesuaian penggunaan KTP sebagai kartu pemilih.
"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
"Berdasar Pasal 71 UU No. 32 Tahun 2004 menyatakan: "Pemilih yang telah terdaftar sebagai pemilih diberi tanda bukti pendaftaran untuk ditukarkan dengan kartu pemilih untuk setiap pemungutan suara". Sedangkan dalam pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009 dalam rangka efisiensi KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau Surat Keterangan Kependudukan dapat dijadikan kartu pemilih. Untuk itu dalam rangka efisiensi pelaksanaan Pilkada, "ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Posisi kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 tanggal 4 Agustus 2008, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan ketentuan dimaksud karena menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Akibatnya kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah hanya cuti selama kampanye. Mengindahkan pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam Putusan dimaksud ke depan bagi kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus diberhentikan sementara sejak pendaftaran sampai dengan dilantiknya kepala daerah/wakil kepala daerah yang baru.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Penggabungan pelaksanaan Pilkada diperlukan seiain untuk menghemat biaya Pilkada juga untuk kejenuhan masyarakat pada Pemilu. Ada beberapa opsi penggabungan Pilkada.
Optimasi Penggabungan.
1) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan hanya 1 X , yaitu dimulai Tahun 2015.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 278 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di seluruh Indonesia.
c) Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
2) Pilkada seluruh Indonesia dilaksanakan secara bersamaan 2 X, yaitu dimulai tahun 2013 dan tahun 2015.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 57 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi sedikit kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan secara serentak di + setengah seluruh Indonesia.
c) Isu Pilkada yang tadinya merupakan isu lokal menjadi isu nasional.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
3) Pilkada dilaksanakan secara bersamaan di masing-masing wilayah provinsi 1X sesuai jadwalnya.
a) Jumlah care taker kepala daerah yang akan ada 225 kepala daerah, sehingga jalannya pemerintah daerah menjadi kurang optimal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda.
c) Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
4) Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan.
a) Jumlah care taker kepala daerah kecil dan dalam waktu singkat, sehingga pemerintah daerah masih berjalan normal.
b) Aparat keamanan harus menggelar pasukan di setingkat Polda atau Polres.
c) Isu Pilkada merupakan isu lokal.
d) Dari segi biaya akan dapat dihemat.
11. Sistem pemilihan gubernur.
Presiden RI ketiga B.J. Habibie mencatat bahwa tahun 2004 merupakan tonggak demokrasi yang penting di Indonesia, karena pada tahun ini terjadi sinergi antara kemerdekaan dan kebebasan, di mana kedaulatn sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Presiden/Wapres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka efektifitas system pemilihan gubernur secara langsung perlu dilakukan peninjauan kembali sebagai berikut:
a. Tinjauan yuridis
Berdasar:
1) Pasal 1 ayat (2) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang",
2) Pasal 18 ayat (4) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis",
3) Pasal 28D ayat (3) UUD Negara Rl Th 1945 menyatakanbahwa, "setiap warga negera berhak memperoleh kesempatan yg sama dalam pemerintahan",
Bahwa tidak ada perintah pemilihan gubernur dipilih secara langsung, sehingga pemilihan gubernur dilakukan melalui system perwakilan tidak
bertentangan dengan konstitusi.
b. Tinjauan filosofis
1) Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk memilih, pemilihan Gubernur melalui sistem perwakilan memiliki derajat ruang partisipasi rakyat untuk memilih lebih rendah dibanding dengan system pemilihan langsung. Sedangkan ruang partisipasi untuk dipilih sama, jika persyaratan calon gubernur sama.
2) Dari sisi ruang partisipasi rakyat utk dipilih, baik sistem pemilihan secara langsung maupun melalui perwakilan, akan memiliki nilai sama jika persyaratan bagi kedua sstem tersebut sama.
3) Dari sisi terbukanya partisipasi masyarakat dalam penentuan kebijakan di daerah (provinsi) kurang dapat dijadikan dipertimbangan, karena Gubernur tidak lagi operasional berhubungan langsung dengan masyarakat. Kalaupun ada sebatas kebijakan yang terkait dengan kebijakan yang bersifat lintas kabupaten/kota.
4) Dari sisi efektifitas kebijakan pusat di daerah dan harmonisasi kepentingan pusat dan daerah, pemilihan Gubernur melalui perwakilan dimana selain DPRD, Pemerintah juga mempunyai peran dalam menentukan seorang Gubernur akan memiliki nilai yang lebih baik, karena di satu sisi gubernur harus menjamin terlaksananya kebijakan pemerintah pusat di daerah, di sisi lain Gubernur juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat di daerah yang direpresentasikan oleh DPRD.
5) Dari sisi terjaminnya pelayanan publik, dimana Gubernur harus dapat mejamin dilaksanakannya standar pelayanan minimal bagi pemerintah kabupaten/kota, maka posisi Gubernur yang diangkat oleh pemerintah akan lebih mempunyai wibawa bagi pemerintah kabupaten/kota. Dibanding jika sama-sama dipilih langsung oleh rakyat yang menyiratkan adanya kesejajaran.
6) Dari sisi kesesuaian dengan format pemerintahan, dengan kewenangan gubernur dalam memberikan pelayanan langsung kepada masyarakat sudah sangat minim, tinggal yang terkait dengan urusan lintas kabupaten/kota maka relevansi penentuan gubernur melalui pemilihan langsung sudah kurang relevan lagi dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan oleh melakukan pemilihan langsung.
c. Tinjauan Politis
1) Perkuatan sistem NKRI.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa Indonesia menganut bentuk Negara Kesatuan. Sistem ini bertujuan untuk menghindari daerah otonom menjadi negara dalam negara, sehingga dengan jumlah daerah otonom yang banyak dan luasnya wilayah NKRI, maka untuk mengatasi rentang kendali pemerintahan diperlukan gubernur yang mempunyai ikatan yang kuat dengan pemerintah. Ikatan yang kuat antara pemerintah dengan gubernur akan dapat terwujud jika pemerintah mempunyai peran menentukan terpilihnya gubernur. Untuk itu bagi tegaknya NKRI pemilihan gubernur melalui perwakilan dan juga adanya peran pemerintah dalam menentukan terpilihnya gubernur akan memililki nilai yang lebih baik dibandingkan jika dipilih langsung.
2) Penataan posisi gubernur dan sumber legitimasi.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
Pemilihan gubernur secara langsung oleh rakyat sama dengan pemilihan bupati/walikota telah memposisikan gubernur setara dengan bupati/ walikota sebagai kepala daerah. Pandangan ini juga tercermin pada perangkat daerah yang besar yang membantu gubernur setara atau bahkan lebih besar dengan perangkat daerah yang membantu bupati/walikota, padahal kewenangan gubernur sebagai kepala daerah sudah sangat minim. Seiring dengan minimnya kewenangan gubernur sebagai kepala daerah dan tugas berat sebagai wakil pemerintah, maka sumber legitimasi gubernur akan lebih sesuai jika tidak langsung dari rakyat.
d. Tinjauan Sosiologis
1) Menumbuhkan budaya persaingan yang sehat.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2) Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
Kondisi masyarakat dengan kultur masyarakat yang masih mementingkan kepentingan sesaat dari pada kepentingan jangka panjang, dan belum mendasarkan pilihannya berdasarkan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung dan melalui perwakilan akan banyak menemui kendala dalam menumbuhkan budaya persaingan yang sehat. Akan tetapi dengan melalui pengaturan tertentu pemilihan melalui perwakilan dapat diupayakan para calon bersaing secara sehat.
2) Menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah.
Dalam kondisi masyarakat yang belum mendasarkan pilihannya atas visi, misi, dan program, pelaksanaan Pilkada secara langsung masih sulit diharapkan untuk menumbuhkan kesadaran akan kebutuhan pemimpin yang mampu membawa kemajuan daerah, dibanding dengan melalui perwakilan. Karena para wakil rakyat setidaknya akan mendapat beban moral untuk memberi pertanggungjawaban atas pilihannya kepada rakyat yang memilihnya.
e. Tinjauan efektifitas dan efisiensi
Dari segi kemudahan untuk dilaksanakan, efektifitas dan efisiensi pelaksanaan pemilihan kepala daerah melalui perwakilan jauh lebih baik dibanding dengan melalui Pilkada secara langsung.
Berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung lebih banyak kelemahannya dibandingkan dengan jika dipilih melalui sistem perwakilan.
12. Sistem pemilihan wakil kepala daerah.
UUD Negara Rl Th 1945 Pasal 18 ayat (4) menyatakan bahwa, "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis". Tidak ada amanat dalam UUD Negara Rl Tahun 1945 bahwa wakil kepala daerah harus dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah. Sistem pemilihan wakil kepala daerah secara langsung berpasangan dengan kepala daerah semula dalam rangka kesesuaian dengan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara berpasangan. Akan tetapi dalam perjalanan penyelenggaraan pemerintahan daerah pasca reformasi sampai sekarang, banyak terjadi hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tidak harmonis, sehingga adanya wakil kepala daerah diharapkan dapat membantu atau terdapat hubungan sinergi dengan kepala daerah justru hubungan yang saling melemahkan. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik membuat hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan.
Berkenaan dengan kondisi hubungan yang tidak harmonis tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
Dari kenyataan-kenyataan di atas nampak bahwa system demokrasi pada umumnya dan system pilkada pada khususnya harus jujur diakui masih mengalami kendala sistemik. Dari sisi hukum hal ini terkait pemahaman tentang “legal system” sebagaimana diajarkan oleh Lawrence Friedmann, bahwa sub-sistem hukum terdiri atas substansi hukum (legal substance) berupa pelbagai produk legislative yang mendasari system hukum tersebut; kemudian struktur hukum (legal structure) berupa kelembagaan yang menangani system tersebut dan budaya hukum (legal culture) berupa kesamaan pandangan, sikap, perilaku dan filosofi yang mendasari system hukum tersebut. Dalam ketiga sub-sistem tersebut demokrasi dan termasuk pilkada masih memerlukan konsolidasi. Warna transksional dan pragmatism masih menonjol , belum lagi munculnya mukti tafsir dan sikap mendua (ambiquitas) dalam pelbagai hal. Aapalgi apabila budaya hokum semacam ini menghinggapi para pemangku kepentingan, termasuk tokoh-tokoh partai politik yang sering disebut sebagai “legal culture of the insider”.
IV. KESIMPULAN
Pelaksanaan Pilkada/Pemilukada yang telah berlangsung sejak Juni 2005 s/d saat ini secara umum telah berlangsung secara aman, tertib, dan demokratis dengan tingkat partisipasi yang cukup tinggi. Meskipun demikian dalam penyelenggaraan Pilkada ke depan masih perlu dilakukan berbagai penyempurnaan untuk memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, yaitu :
1. Peningkatan akurasi daftar pemilih.
Dari segi regulasi, pengaturan data pemilih yang ada dalam Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebetulnya sudah cukup memadai. Kunci penyelesaian dari daftar pemilih yang kurang akurat adalah pelibatan RT/RW secara resmi dan intensif baik dalam up dating data penduduk maupun perbaikan data pemilih.
2. Peningkatan akuntabilitas proses pencalonan.
Dari segi regulasi, pengaturan tahapan pencalonan yang ada dalam Pasal 59 sampai dengan pasal 64 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum cukup memadai. Untuk mengatasi kekurangan ini, ke depan pasangan calon perlu diberi ruang untuk mengajukan keberatan ke pengadilan, jika dalam proses pencalonan dirugikan KPUD.
3. Masa kampanye yang lebih memadai.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai kampanye yang diatur dalam pasal 75 sampai dengan pasal 85 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum member! waktu yang cukup, yaitu hanya 14 (empat belas) hari, sehingga tidak cukup bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi lengkap para calon. Untuk itu perlu pengaturan masa kampanye yang cukup dan peningkatan kualitas kampanye agar dapat mendidik pemilih untuk menilai para calon dari segi program.
4. Peningkatan akuntabilitas penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara.
Dari segi regulasi, pengaturan mengenai penghitungan dan rekapitulasi hasil penghitungan suara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 96 s/d Pasal 101 UU No. 32 Tahun 2004 masih mengandung celah terjadi manipulasi pada pembuatan berita acara dan sertifikat penghitungan suara yang tidak sama dengan hasil penghitungan suara yang disaksikan oleh masyaakat, karena tidak semua peserta Pilkada menempatkan saksi di setiap TPS dan keterbatasan jangkauan Panwaslu mengawasi penghitungan suara di setiap TPS. Selain itu pengumuman hasil penghitungan suara yang dipasang di setiap TPS hanya selama TPS ada (tidak lebih dari sehari), sehingga para saksi peserta Pilkada kesulitan untuk mengakses hasil penghitungan suara di setiap TPS. Untuk itu perlu pengaturan yang memungkinkan adanya kontrol dari masyarakat/para saksi calon untuk mengakses hasil penghitungan suara di TPS maupun hasil rekapitulasi hasil penghitungan suara di setiap tingkatan.
5. Peningkatan penyelenggara Pemilu yang adil dan netral
Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu pasangan calon terjadi karena kriteria dalam sistem seleksi para anggota penyelenggara pemilu baru belum menjangkau sikap mental yang diperlukan bagi penyelenggara pemilu yang antara lain harus netral, obyektif, mempunyai integritas tinggi, kesukarelaan/keterpanggilan dalam tugas, dan tidak tidak mudah mengeluarkan statement. Untuk itu dalam revisi UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu perlu penambahan kriteria sikap mental dimaksud dalam system seleksi anggota penyelenggara pemilu.
6. Minimalisasi Putusan MK yang menimbulkan kontroversi di masyarakat.
Meskipun UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 telah membatasi kewenangan pengadilan/mahkamah dalam sengketa Pilkada hanya sebatas sengketa hasil penghitungan suara, namun pengadilan sering menabrak aturan tersebut dan menimbulkan kontroversi. Untuk itu dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah kontroversi putusan Mahkamah Konstitusi perlu dicarikan jalan keluarnya.
7. Putusan-putusan MK yang membatalkan UU No. 32 Tahu 2004 dan UU No. 12 Tahun 2008 terkait dengan pelaksanaan Pilkada.
a. Putusan MK Nomor 072-073/PUU-ii/2004 telah menganulir Pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 sebagai berikut:
1) Pasal 57 ayat (1) sepanjang anaka kalimat "...yang bertanggung jawab kepada DPRD",
2) Pasal 66 ayat (3) huruf e"...meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas KPUD",
3) Pasal 67 ayat (1) huruf e sepanjang anak kalimat"... kepada DPRD",
4) Pasal 82 ayat (2) Sepanjang anak kalimat "... oleh DPRD". b. Putusan MK Nomor No 22/PUU-VII/2009 membatalkan Pasal 58 huruf o Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam revisi Undang-Undang yang terkait dengan Pilkada masalah ini masalah substansi yang telah dibatalkan tersebut untuk tidak diatur lagi.
Berkenaan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009 dalam pemberian suara sudah tidak lagi mencoblos tapi menconteng serta penggunaan KTP juga sebagai kartu pemilu, maka untuk tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat perlu dilakukan penyerasian. Untuk itu ketentuan dalam UU No. 32 Tahun 2004 terkait dengan tata cara pemberian suara dan penggunaan kartu pemilih dalam pelaksanaan Pilkada perlu disesuaikan dengan pelaksanaan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009.
9. Minimalisasi politisasi birokrasi oleh kepala daerah/wakil kepala daerah incumbent dalam Pilkada.
Dalam rangka menjaga kesetaraan (fairness) dan menjaga netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam Pilkada, kepala daerah/wakil kepala daerah yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah harus aktif.
10. Penggabungan PILKADA (Pilkada serentak).
Optimasi penggabungan Pilkada di Indonesia yang paling optimal berdasar kriteria kontinuitas jalannya pemerintahan daerah, kesiapan aparat keamanan, dampak isu yang akan muncul terhadap dan efisiensi biaya didapat alternatif yang memiliki skor terbaik, yaitu : "Kepala daerah yang berakhir dalam tahun yang sama dilaksanakan Pilkada secara bersamaan".
11. Peninjauan sistem pemilihan Gubernur.
Seiring dengan kewenangan gubernur sebagai kepala daerah yang sudah sangat terbatas dan menempatkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah yang besar, maka berdasar tinjauan yuridis, filosofis, politis, sosiologis, dan praktis sistem pemilihan gubernur secara langsung sudah dapat dipertahankan lagi dan akan lebih efektif jika pemilihannya dilakukan melalui sistem perwakilan.
12. Peninjauan sistem pemilihan wakil kepala daerah.
Pemilihan wakil kepala daerah dilakukan secara langsung berpasangan dengan kepala daerah, pada banyak daerah telah menimbulkan hubungan yang tidak sinergi dalam menjalankan tugas dan fungsi. Hal terjadi karena latar belakang politik wakil kepala daerah yang juga sarat dengan kepentingan politik menjadikan kedua belah saling waspada atas kemungkinan terjadi manuver politik yang saling menjatuhkan. Berkenaan dengan tersebut perlu dilakukan perumusan ulang sistem pemilhan wakil kepala daerah, agar tidak mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah dan dapat menempatkan wakil kepala daerah sebagai pembantu untuk perkuatan kepala daerah.
V. PENUTUP
Evaluasi pelaksanaan Pilkada ini dilakukan seoptimal mungkin dalam rangka menyempurnaan pelaksanaan Pilkada yang telah berjalan lebih dari 5 tahun. Hasil evaluasi Pilkada ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dalam rangka penyempurnaan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 jo Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Dinamika politik selama lebih dari sepuluh tahun telah memberikan peran politik local cukup signifikan. Namun penyempurnaan masih harus dilakukan agar pemerintahan daerah sebagai aktualisasi dari dinamika politik lokal semakin menghasilkan kebijakan yang bermanfaat bagi masyarakat. Oleh sebab itu pengaturan suatu struktur atau institusi perlu memperhatikan pertimbangan filosofis, yuridis, sosiologis, politis, dan praktis.
Sementara itu susunan pemerintahan daerah akan menjadi dasar bagi pembangunan interaksi di antara mereka. Demikian pula, susunan pemerintahan tersebut juga dapat menjadi konteks dari peranan yang dimainkan oleh masing-masing susunan pemerintahan dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat dan implikasinya terhadap pendidikan politik masyarakat. Pendidikan politik masyarakat yang terbangun melalui pemilu kepala daerah diharapkan menciptakan sistem politik yang demokratis di tingkat lokal dan pada gilirannya akan dapat memberikan kontribusi bagi terwujudnya sistem politik demokratis di tingkat nasional.
Yang terlebih penting lagi adalah konsolidasi demokrasi yang harus merupakan konsensus untuk menyempurnakan system demokrasi, khususnya pemahaman “legal system” di atas, baik yang berkaitan dengan substansi, struktur dan budaya hukum, yang penyempurnaannya harus merupakan usaha yang tidak pernah henti (the endless effort). Demokrasi sebagai system politik harus didukung oleh system hukum yang mantap, yang effektivikasinya akan banyak tergantung pada kualtias perundang-undangannya; kelengkapan sarana dan prasarananya; kualitas sumberdaya manusianya baik mental maupun intelektual; dan partisipasi masyarakat secara luas.
Langganan:
Postingan (Atom)